Peringatan Hari Kartini telah berlalu dengan menyisakan kisah hebat tentang pahlawan wanita Indonesia itu. Namun di lingkungan keluarga, ibumu adalah wanita terhebat yang pernah kau miliki.
Tak ada yang melebihi kehebatan sosok perempuan lain selain ibumu. Ia adalah pahlawan yang sesungguhnya, selain ayahmu, tentu saja. Tapi perjuangan sang ibu lebih berat dibanding ayahmu. Kalau ayahmu hanya bisa ikut andil di awal kehadiranmu dengan ikut “membuat” anak, maka ibumu tak hanya sekedar itu. Ia pula yang harus merawatmu sejak dalam kandungan. Ia memiliki pendengaran dan insting yang tajam akan janin yang dikandungnya. Kapan kamu berdenyut pelan, kapan kamu berdenyut kencang, kapan kamu sedang tidur, kapan kamu sedang berguling-guling, dan kapan saat kamu terdiam tak mau bergerak. Ibumu harus menyangga beban perut yang mulai membesar dari bulan ke bulan masa kehamilan. Ia mulai khawatir manakala masuk trisemester pertama karena di saat itulah masuk fase-fase krusial. Tubuh ibumu mulai tak nyaman. Kalau dulu masih mampu berjalan kaki dan naik turun tangga dengan cepat, kali ini gerakannya mulai pelan dan harus berpegangan kuat pada apa saja yang bisa diraih. Kalau dulu ibumu masih gesit menaiki sepeda motor sendirian, kali ini ia mulai kesusahan memakainya. Tubuhnya mulai mudah letih dan pusing. Ibumu pun mulai sering mual, muntah, dan bolak-balik ke kamar mandi. Saat itu, muncul kantung yang berisi air ketuban yang berfungsi melindungimu selama kehamilan. Ibumu juga harus pandai menjaga kesehatan dan asupan makanan yang baik karena ia harus berbagi gizi denganmu melalui plasentanya.
Untuk memastikan perkembangan tubuhmu selalu baik, ibumu rela meluangkan waktu pergi ke dokter atau bidan. Saat ibumu datang ke dokter dan diperlihatkan bentukmu di kandungan, ia akan berbahagia jika kamu tak mengalami kelainan. Saat itu telingamu sudah mulai muncul meski hanya selembar kulit. Lalu mulai terlihat bakal lengan dan kaki-kaki cantikmu.
Dari bulan ke bulan, bentukmu makin sempurna. Ibumu makin mengalami kepayahan demi kepayahan. Ia selalu mual, sakit kepala, dan sembelit yang sangat menyiksa. Apalagi ibumu masih juga bekerja, seolah tak kenal lelah mengumpulkan uang untuk mempersiapkan biaya persalinanmu. Ia tak peduli harus berhadapan dengan lingkunan kerja yang toxic, yang mau tak mau harus tetap ia hadapi dengan sabar.
Sampai pada waktunya ibumu mengambil cuti hamil agar fisiknya tetap terjaga, dan yang terpenting agar kondisimu tetap sehat. Tapi itu tak cukup membuat ibumu tenang. Berat badanmu yang semakin naik dan gerakanmu yang tak bisa dikendalikan, membuat ibumu makin kepayahan. Tapi ia tak pantang menyerah. Ia rela tak bisa tidur dengan nyenyak karena posisi tidur tak bisa bebas lagi. Sekali bergerak miring ke kanan atau kiri, bakal membuat keadaan menjadi tak karuan. Ia hanya bisa pasrah. Tulang punggung mulai terasa nyeri, belum lagi keringat yang mengucur dari punggung karena terlalu lama posisi tidurnya terlentang.
Saat tiba waktunya untuk melahirkanmu, ibumu semakin khawatir. Jam demi jam dihitungnya manakala tak jua ada pembukaan atau kontraksi. Kadang yang terjadi hanyalah kontraksi palsu. Kegelisahan terus memuncak begitu masuk tanggal deadline kelahiran menurut perhitungan dokter kandungan. Hingga akhirnya, kontraksi sungguhan pun datang. Di situlah denyut jantung ibumu makin berdebar. Doa demi doa terus dipanjatkan sembari menanti detik-detik kelahiranmu. Keringat terus bercucuran, air mata berlinang, dan tulang-belulang berantakan, saat waktu itu tiba. Dunia seakan mau kiamat karena kepala mulai gelap. Tarikan nafas mulai payah. Dada dan perut kesakitan luar biasa. Sampai kemudian terdengar suara teriakan pertamamu di dunia ini. Sisa-sisa tenaga ibumu masih cukup membuatnya bertahan hidup. Apalagi ketika melihatmu tergolek di sisi pembaringan saat setelah selesai diurus bidan. Decak kagum dan rasa syukur menyelimuti manakala masa-masa genting itu terlewati.
Tapi itu bukan akhir dari perjalanan berat ibumu dalam mengasuhmu. Justru dimulailah kembali masa perjuangan berikutnya dalam membesarkanmu. Ia rela tak tidur semalaman hanya karena ingin memastikan bahwa kamu dapat tidur dengan nyenyak. Bahkan jika ada nyamuk mendekatmu, ibumu pasti akan segera mengusirnya. Ia juga selalu menyiapkan segala tetek bengek perlengkapan bayi. Belum lagi ia harus menjaga kesehatan dirinya sendiri agar asupan asi-nya selalu berkualitas. Begitulah yang dilakukannya, hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Ia tak kenal kata menyerah. Segala daya dan upaya terus ia lakukan demi menjaga kelangsungan hidupmu.
Kini kamu sudah bisa berjalan dan berbicara. Kamu sudah pandai tertawa dan menyeringai. Kamu sudah mulai sering berlarian ke sana ke mari, bahkan memanjat kursi dan meja. Kamu pun sudah tahu siapa kakek dan nenekmu, juga pak dhe dan pak likmu. Bicaramu membuat semua keluarga senang. Kehadiranmu menyejukkan mata, apalagi saat ayah dan ibumu kembali pulang dari kerja.
Maka atas segala perjuangan ibumu, berusahalah kelak menjadi anak yang tangguh, seperti halnya ketangguhan ibumu menghadapi berbagai kesulitan saat masa-masa melahirkan dan mengasuhmu. Jangan lupa doakan dia agar disayangi-Nya sebagaimana ia menyayangimu sejak kecil.