Dalam daftar kopi IG (Indikasi Geografis), Kopi (Arabika) Kintamani Bali menjadi salah satu kopi yang telah mendapatkan sertifikat tersebut.
Salah satu penelitian yang mengupas tentang Kopi Arabika Kintamani Bali ini adalah studi kasus yang dilakukan oleh Surip Mawardi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Indonesian Coffe and Cocoa Research Institute) di tahun 2009.
Kopi Arabika Kintamani Bali ditanam dan diproduksi di daerah pegunungan timur laut Bali yang dihuni oleh minoritas etnik asli Bali yang disebut Bali Aga yang beragama Hindu. Kelompok etnik ini memegang teguh filosofi Tri Hita Karana atau 3 Penyebab Kesejahteraan yang didasarkan pada ajaran agama Hindu yaitu diterapkan ke dalam 3 pilar yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan alam lingkungan, dan hubungan manusia dengan antar sesama.
Kintamani sendiri merupakan nama sebuah kecamatan yang berada di bawah Kabupaten Bangli dimana 70% produksi Kopi Kintamani Bali disumbangkan oleh Kecamatan Kintamani ini. Selain Kabupaten Bangli, kopi ini juga ditanam di Kabupaten Badung dan Kabupaten Buleleng.
Di wilayah yang ditanami Kopi Arabika Kintamani Bali, penggunaan lahan dikategorikan ke dalam 3 (tiga) zona yaitu perumahan (residential), pertanian/perkebunan (agricultural), dan hutan (forest). Penggunaan lahan yang terbesar adalah area pertanian dan perkebunan yang ditanami tanaman padi. Disamping itu terdapat tanaman kopi jenis arabika yang memang cocok ditanam di pegunungan Kintamani yang memiliki karakteristik yang memadai baik dari segi curah hujan, ketinggian, suhu, kelembaban, dan tipe tanah.
Secara klimatologi, Kopi Arabika Kintamani Bali ditanam di daerah lereng pegunungan yang berada pada ketinggian antara 900 sampai 1500 mdpl, namun di wilayah ini kebanyakan tanaman kopi arabika ditanam pada ketinggian antara 1100 sampai 1400 mdpl dengan temperatur antara 10 sampai 15 derajat Celcius pada malam hari dan 23 sampai 26 derajat Celcius pada siang hari.
Curah hujan tahunan rata-rata adalah 2990 mm dengan jumlah hari hujan dalam setahun sekitar 139 hari. Bulan-bulan kering terjadi pada Mei atau Juni sampai September atau Oktober. Kelembaban relatif pada tengah hari rata-rata di atas 80%.
Tipe tanah berupa entisols dan inceptisols yang secara umum memiliki tingkat kesuburan yang baik. Tekstur tanahnya sebagian besar berupa pasir bergeluh disusul geluh berpasir dengan tingkat pH rata-rata di angka 7 meskipun di 2 desa, Ulian dan Lembehan, nilai pH-nya lebih rendah dari itu. Kadar karbon termasuk tinggi sebagai akibat dari penggunaan pupuk organik oleh para petani. Begitu juga kadar magnesium, potassium dan posphor. Sedangkan kadar nitrogen dan kalsium relatif rendah.
Dari sisi sejarah, masih sulit ditemukan informasi yang akurat tentang kapan dan bagaimana kopi diperkenalkan di Pulau Bali, termasuk di Kintamani. Namun diperkirakan kopi arabika telah ditanam sejak abad 18 atau awal abad 19. Dalam laporannya yang berjudul Brazilie En Java; Verslag Over De Koffiecultuur in Amerika, Azie en Afrika, sang penulis, K.F. van Delden Laerne (1885) melaporkan bahwa pada tahun 1825, Pulau Bali telah menyumbangkan ekspor kopi sebanyak sekitar 10337 pikul (1 pikul = 61,5210 kg).
Serangan penyakit karat daun juga pernah melanda kopi arabika di Pulau Bali sehingga pada jaman pendudukan Jepang terjadi penurunan produksi kopi arabika karena petani dipaksa untuk mengganti tanaman kopi menjadi tanaman pangan utamanya jaung pada awal tahun 1940-an. Erupsi Gunung Batur (1917, 1948, dan 1977) dan erupsi Gunung Agung (1963) ikut membawa dampak pada penurunan produksi kopi arabika di Pulau Bali. Hal ini menyebabkan reputasi kopi Kintamani sempat mengalami penurunan drastis terutama di pasar internasional.
Pada tahun 1978/1979, Departemen Pertanian dan pemerintah daerah mulai melakukan rehabilitasi pada perkebunan kopi arabika melalui Proyek rehabilitasi dan Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE). Pada tahun 1987/1988 rehabilitasi kopi Kintamani mendapat dukungan dari PT Perkebunan XXVI yang menghasilkan lahan perkebunan kopi seluas sekitar 9000 ha. Namun pada tahun 1990an dan awal 2000an harga kopi mengalami kejatuhan, sebaliknya harga jeruk keprok mengalami peningkatan tajam. Situasi ini menyebabkan para petani mengalihkan tanaman kopi ke jeruk keprok sehingga areal tanaman kopi ikut berkurang drastis menjadi 3640 ha pada tahun 2002.
Pada saat peluncuran program perlindungan kopi Indikasi Geografis (IG) di tahun 2001, kopi Bali Kintamani dipilih sebagai pilot project. Para petani dilibatkan dalam sesi training dan kursus yang meliputi motivasi dan diskusi kelompok, teknologi pengolahan basah untuk kopi arabika, pengetesan kualitas green bean, aplikasi kemitraan bisnis, praktek produksi kopi yang menghasilkan kualitas terbaik, sistem monitoring internal, dan perlindungan IG.
Proses pengajuan kopi Kintamani dalam perlindungan kopi Indikasi Geografis (IG) secara umum sama dengan yang dilakukan oleh elemen masyarakat di wilayah lainnya yang mengajukan kopi andalannya masing-masing. Untuk kopi Kintamani ini diajukan oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Kintamani Bali sebagai kopi IG dengan nama Kopi Kintamani Bali yang meliputi green bean (kopi biji), roasted bean (kopi sangrai) dan ground coffee (kopi tubruk). Pada tahun 2008, Kopi Arabika Kintamani Bali secara resmi memperoleh sertifikat perlindungan kopi Indikasi Geografis (IG) dengan nomor ID IG 000 000 001 dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kementerian Hukum dan HAM RI.
Ketika disajikan dalam medium roasted (sangrai sedang), Kopi Arabika Kintamani Bali ini menunjukkan hasil sangrai yang relatif homogen dan menghasilkan aroma kopi bubuk yang mengesankan rasa manis dan ada sedikit aroma rempah.
Hasil analisa sensorial menunjukkan bahwa Kopi Arabika Kintamani Bali memiliki tingkat keasaman regular yang mencukupi dengan mutu dan intensitas aroma yang kuat pada aroma buah jeruk dan lemon. Rasanya juga tidak terlalu pahit (not too bitter) dan juga tidak terlalu sepat (not too astringent).
Sejumlah roaster lokal seperti Caswell's Coffee dan PT Bhineka Jaya melakukan pembelian Kopi Arabika Kintamani Bali dari Subak Abian (kelompok petani perkebunan yang mengelola lahan kering di Bali) lalu menjualnya sebagai roasted bean dan ground coffee dengan merk Kintamani Bali. Pemasarannya ditujukan terutama bagi para wisatawan yang mengunjungi Bali sebagai oleh-oleh atau souvenir khas Bali. Sementara dalam skala ekspor, sudah ada perusahaan eksportir kopi yang membeli biji kopi merah langsung dari Subak Abian lalu dioleh secara basah di pabrik pengolahan yang memiliki kapasitas 1500 ton per tahun. Perusahaan yang bernama PT Thirta Harapan Bali (THB) masih beroperasi sampai saat ini dan menjual green bean ke Jepang dengan merk Bali Arabika Coffee Shinzan.
Setelah peningkatan kualitas dilakukan melalui program perlindungan kopi IG, sejumlah eksportir kopi tertarik untuk menanamkan investasinya di Pulau Dewata seperti PT Indo CafCo, PT Indokom Citrapersada, PT Asal Jaya, PT Bitang Tunggal Sejati, PT Kaliduren, dan lain-lain.