Pada saat warga di sebagian daerah di Indonesia mengetahui adanya pengumuman Proklamasi Kemerdekaan RI, seorang anggota kepolisian di markas Tokubetsu Keisatsutai Semarang segera menurunkan bendera Hinomaru untuk diganti dengan Sang Saka Merah Putih.
Sikap kepolisian di Semarang itu kemudian diikuti oleh anggota kepolisian di daerah lain seperti Surabaya, Padang, dan Jakarta.
Organisasi kepolisian di bawah pemerintahan RI segera dibentuk dimana Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI pada tanggal 29 September 1945. Saat itu tanggung jawab keamanan berada di tangan kepolisian mengingat belum terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, pemuda dan rakyat bersama-sama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan Polri mengangkat senjata melawan tentara Sekutu. Situasi keamanan negara yang makin genting memaksa pemerintah untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta (bersamaan dengan pendirian RIS – Republik Indonesia Serikat). Kantor Kepolisian Negara RI pun ikut dipindahkan dari Jakarta ke Purwokerto.
Guna mempermudah koordinasi dan dengan tujuan menyatukan badan-badan perjuangan kepolisian di berbagai daerah, Polri kemudian membentuk P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) di Madiun pada tanggal 12 Mei 1946. Lalu pada tanggal 14 November 1946 berdirilah pasukan-pasukan kecil di tubuh kepolisian dengan nama Mobiele Brigade (Mobbrig) yang diperlengkapi dengan sistem persenjataan yang kuat dan kemampuan mobilitas yang tinggi.
Pasca pembubaran RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, Polri mengadakan pembenahan organisasi dimana Jawatan Kepolisian Negara membuat jabatan Kepala Bagian Inspeksi Mobrig guna mengatur organisasi tersebut secara terpusat. Selain itu Jawatan Kepolisian Negara juga mengintegrasikan struktur organisasi dari tingkat pusat, provinsi, sampai pos-pos polisi di tingkat kecamatan.
Kepolisian Negara juga membentuk kesatuan-kesatuan baru yang mengemban tugas khusus seperti Polisi Perairan, Polisi Perintis, Polisi Lalu-Lintas, dan Polisi Kereta Api. Sementara itu, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) didirikan sebagai penyempurnaan dari Akademi Polisi yang sudah ada sejak tahun 1946. Sekolah Polisi Negara kemudian dipindahkan dari Yogyakarta ke Sukabumi dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sistem pemerintahan parlementer berakhir dan Soekarno dapat kembali berkuasa penuh (Demokrasi Terpimpin).
Diterbitkannya Dekrit Presiden berdampak pada perubahan organisasi Kepolisian Negara dimana pada tanggal 15 Juli 1959, jabatan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang waktu itu dijabat oleh R.S. Soekanto. Munculnya penolakan atas intervensi politik pada jabatan kepolisian menyebabkan dicopotnya R.S. Soekanto dari jabatan Menteri Muda Kepolisian.
Sampai dengan berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin, Kepolisian Negara telah terlibat dalam 3 (tiga) peristiwa besar yaitu : (1) Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam rangka pembebasan Papua dari Belanda, (2) Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dalam rangka menentang pembentukan Federasi Malaya atas prakarsa Inggris, dan (3) Operasi pemulihan ketertiban pasca terjadinya Pemberontakan G30S 1965.
Organisasi kepolisian di bawah pemerintahan RI segera dibentuk dimana Presiden Soekarno menunjuk Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI pada tanggal 29 September 1945. Saat itu tanggung jawab keamanan berada di tangan kepolisian mengingat belum terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, pemuda dan rakyat bersama-sama TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan Polri mengangkat senjata melawan tentara Sekutu. Situasi keamanan negara yang makin genting memaksa pemerintah untuk memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta (bersamaan dengan pendirian RIS – Republik Indonesia Serikat). Kantor Kepolisian Negara RI pun ikut dipindahkan dari Jakarta ke Purwokerto.
Guna mempermudah koordinasi dan dengan tujuan menyatukan badan-badan perjuangan kepolisian di berbagai daerah, Polri kemudian membentuk P3RI (Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia) di Madiun pada tanggal 12 Mei 1946. Lalu pada tanggal 14 November 1946 berdirilah pasukan-pasukan kecil di tubuh kepolisian dengan nama Mobiele Brigade (Mobbrig) yang diperlengkapi dengan sistem persenjataan yang kuat dan kemampuan mobilitas yang tinggi.
Pasca pembubaran RIS pada tanggal 17 Agustus 1950, Polri mengadakan pembenahan organisasi dimana Jawatan Kepolisian Negara membuat jabatan Kepala Bagian Inspeksi Mobrig guna mengatur organisasi tersebut secara terpusat. Selain itu Jawatan Kepolisian Negara juga mengintegrasikan struktur organisasi dari tingkat pusat, provinsi, sampai pos-pos polisi di tingkat kecamatan.
Kepolisian Negara juga membentuk kesatuan-kesatuan baru yang mengemban tugas khusus seperti Polisi Perairan, Polisi Perintis, Polisi Lalu-Lintas, dan Polisi Kereta Api. Sementara itu, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) didirikan sebagai penyempurnaan dari Akademi Polisi yang sudah ada sejak tahun 1946. Sekolah Polisi Negara kemudian dipindahkan dari Yogyakarta ke Sukabumi dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sistem pemerintahan parlementer berakhir dan Soekarno dapat kembali berkuasa penuh (Demokrasi Terpimpin).
Diterbitkannya Dekrit Presiden berdampak pada perubahan organisasi Kepolisian Negara dimana pada tanggal 15 Juli 1959, jabatan Kepala Kepolisian Negara berubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang waktu itu dijabat oleh R.S. Soekanto. Munculnya penolakan atas intervensi politik pada jabatan kepolisian menyebabkan dicopotnya R.S. Soekanto dari jabatan Menteri Muda Kepolisian.
Sampai dengan berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin, Kepolisian Negara telah terlibat dalam 3 (tiga) peristiwa besar yaitu : (1) Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam rangka pembebasan Papua dari Belanda, (2) Operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora) dalam rangka menentang pembentukan Federasi Malaya atas prakarsa Inggris, dan (3) Operasi pemulihan ketertiban pasca terjadinya Pemberontakan G30S 1965.