Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, masyarakat Palembang secara garis besar digolongkan ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : (1) golongan Belanda, (2) golongan Cina, Arab, India, dan (3) golongan pribumi.
Atas realitas tersebut dapat disadari bahwa sejak lama di Palembang telah tumbuh berbagai aneka ragam suku bangsa yang secara turun-temurun bermukim di sana. Salah satu golongan tadi adalah masyarakat Cina yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang termasuk yang beragama Islam. Berbagai utusan dari Cina yang beragama Islam pada masa Dinasti Ming membentuk masyarakat muslim di Palembang. Hal ini tidak lepas dari peran seorang laksamana perang pada masa kekaisaran Yongle yang bernama Cheng Ho. Dalam misi perdagangannya di Asia dan Afrika ia sempat sempat singgah di Indonesia beberapa kali termasuk di Palembang. Di sanalah ia membentuk komunitas masyarakat Tionghoa muslim pertama di Nusantara.
Masjid Muhammad Cheng Ho Palembang
Nama lengkap masjid ini adalah Masjid Al Islam Muhammad Cheng Ho Sriwijaya Palembang yang dibangun pada tahun 2003 dan selesai pada tahun 2006 atas prakarsa Pengurus PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) Sumatera Selatan dan para tokoh masyarakat Tionghoa Palembang. Masjid Cheng Ho di Palembang ini merupakan 1 (satu) diantara sejumlah masjid dengan nama yang sama yang tersebar di sejumlah kota di Indonesia seperti Surabaya, Pasuruan, Purbalingga, Semarang, Batam, dan beberapa tempat lainnya.
Lokasi masjid ini berada di dalam sebuah kompleks perumahan, tepatnya di 15 Ulu I, Kecamatan Seberang Ulu I, Kota Palembang yang tidak terlalu jauh dari Jakabaring Sport Centre. Masjid tersebut dipakai pertama kali pada hari Jum'at, 22 Agustus 2008 dengan khatib pertama seorang kyai kharismatik dan orang tua angkat PITI Sumatera Selatan, KGS KH M Zen Syukry bin KGS K.H. Hasan Syukur. Demikianlah yang disebutkan dalam sebuah prasati hitam berbentuk kerucut yang ditandatangani oleh H. Ahmad Afandi selaku Ketua PITI Sumatera Selatan dan H. Ekik Salim, Ketua Yayasan Muhammad Cheng Ho Sriwijaya PITI Sumatera Selatan. Pada prasasti tersebut juga disebutkan bahwa Masjid Muhammad Cheng Ho Sriwijaya merupakan masjid yang berfaham ahlussunnah wal jama'ah yang bermahzab fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i dan Syafi'iyah.
Desain beserta ornamen yang menempel baik di bagian eksterior maupun interior masjid memiliki ciri khas yang tidak dijumpai pada masjid secara umum. Hal ini disebabkan adanya faktor percampuran (akulturasi) budaya antara unsur budaya Cina, Arab, dan Melayu. Misalnya pada bentuk gapura masjid yang berdiri di halaman depan dan belakang masjid yang mirip bangunan pagoda yang merupakan bentuk arsitektur khas bangunan di Tiongkok.
Jika dicermati lebih detail bangunan gapura depan secara struktural memiliki bagian atap yang berjumlah 5 (lima) dimana di setiap sudutnya terdapat juray (tanduk kambing) dengan aksen arsitektur Cina yang sangat kuat. Bagian struktur lainnya adalah kolom atau tiang penyangga gapura yang berjumlah 10 (sepuluh) buah dengan warna dasar merah dengan list di bagian bawah tiang berwarna putih, emas, dan hijau. Warna putih melambangkan kesucian, emas melambangkan kemakmuran, dan hijau melambangkan keseimbangan. Sedangkan secara keseluruhan, bentuk gapura depan ini mirip dengan bangunan kelenteng dengan tiang-tiang berjejer dan atap bersusun atau bertingkat.
Pada gapura belakang masjid memiliki desain yang hampir mirip dimana terdapat ornamen bertuliskan nama masjid dan tulisan berhuruf Cina yang dibaca sebagai “Cen He”, “Cing Chen” dan “She” atau secara umum diartikan sebagai Masjid Cheng Ho.
Ornamen yang kental dengan nuansa Cina juga terlihat pada bentuk menara masjid yang berdiri megah dan melunjang tinggi di 2 (dua) sisi yaitu sebelah kiri dan kanan masjid. Warna utama menara masjid adalah merah yang dikombinasikan dengan kuning dan hijau. Terdapat 5 (lima) tingkatan pada menara tersebut yang merepresentasikan sholat wajib 5 waktu. Masing-masing tingkatan itu berupa atap pagoda segi delapan yang pada bagian ujungnya berbentuk melengkung. Sementara di ujung paling atas menara masjid terdapat motif buah semangka yang menggambarkan kesuburan dan kebaikan.
Memasuki ruangan utama masjid, kita akan dihadapkan pada pemandangan interior masjid yang artistik dengan menampilkan perpaduan ornamen budaya Arab, Melayu, dan Cina. Karpet yang berwarna hijau begitu dominan menutupi lantai ruangan utama sholat, sementara terdapat tirai pemisah antara jamaah laki-laki dan wanita dengan warna kain yang senada yaitu hijau. Pada list dinding yang antara lantai satu dan dua yang mengelilingi sisi ruangan sholat utama tertulis baris kaligrafi Al-Qur'an warna dasar yang juga hijau. Sementara itu pada ruang imam sholat terdapat mimbar khotbah dari kayu yang penuh dengan ukiran pada sisi tiangnya. Sedangkan pada dinding atas ruang imam yang menghadap ke jamaah terpasang papan kayu bertuliskan kalimat Al-Qur'an Surat Ali 'Imran ayat 19 dalam 3 (tiga) bahasa yang berbeda : Arab, Cina, dan Indonesia.
Kesan luas dan lega terlihat dari ruangan sholat utama yang berukuran sekitar 20 x 20 meter tanpa ada kolom atau tiang yang berdiri di dalam sehingga tidak memutus barisan sholat berjamaah. Kubah bulat yang berada di atas dengan warna putih menambah kesan kokoh dan bersih. Sementara itu terdapat lampu kristal gantung berukuran sedang sebagai sumber penerangan ruangan sholat saat malam hari.
Masjid yang berdiri di atas lahan hibah yang diberikan Gubernur Provinsi Sumatera Selatan, Syahrial Oesman, seluas sekitar 4990 meter persegi itu, kini menjadi salah satu landmark Kota Palembang (selain Jembatan Ampera) dimana banyak pengunjung dan traveler yang mendatangi masjid yang satu ini karena desainnya yang khas dan pendiriannya terinspirasi oleh semangat dakwah yang dilakukan oleh sang laksamana muslim dari Cina, Cheng Ho.