Siapa yang tak kenal sosok fenomenal yang satu ini di dunia kepolisian. Nama harumnya akan selalu dikenal dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Hoegeng Iman Santoso adalah pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah yang lahir pada tanggal 14 Oktober 1921 yang merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem.
Hoegeng mengenyam pendidikan di HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemene Middelbare School). Pada tahun 1940 ia melanjutkan pendidikan tingginya di RHS (Recht Hoge School) di Batavia. Selepas itu ia bekerja di Kantor Jawatan Kepolisian Karesidenan Pekalongan lalu melanjutkan pendidikan kader polisi tinggi di Sukabumi, Jawa Barat. Namun pada tahun 1945 Hoegeng mengambil keputusan meninggalkan Jawatan Kepolisian dan bergabung dengan Angkatan Laut. Pada tahun 1946 setelah bertemu dengan R.S. Soekanto barulah ia memutuskan untuk kembali ke Jawatan Kepolisian.
Setelah lulus dari PTIK, Hoegeng bertugas di beberapa pos setelah sempat ditunjuk sebagai Kelapa Jawatan Imigrasi dan Menteri Iuran Negara. Pada tanggal 15 Mei 1968 ia dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi sehingga menghasilkan struktur baru yang lebih dinamis. Langkah kedua adalah merubah sebutan AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) menjadi Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Setelah lulus dari PTIK, Hoegeng bertugas di beberapa pos setelah sempat ditunjuk sebagai Kelapa Jawatan Imigrasi dan Menteri Iuran Negara. Pada tanggal 15 Mei 1968 ia dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI. Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pembenahan beberapa bidang yang menyangkut struktur organisasi sehingga menghasilkan struktur baru yang lebih dinamis. Langkah kedua adalah merubah sebutan AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) menjadi Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Hoegeng menyelesaikan masa tugasnya di kepolisian pada tahun 1971 yang menyisakan sejumlah tanda tanya karena ia berhenti sebelum masa jabatannya berakhir. Sepertinya ada “kekuatan besar” di balik diturunkannya Hoegeng dari jabatannya itu di tengah jalan. Salah satunya dimungkinkan karena keberaniannya dalam mengungkap kasus-kasus besar termasuk upaya beliau dalam membersihkan oknum-oknum kepolisian. Ia menjadi Kapolri ke-5 setelah Soekanto, Soekarno, Soetjipto Danoekoesoemo, dan Soetjipto Joedodihardjo.
Dalam sebuah buku biografi Hoegeng yang berjudul “Hoegeng:Polisi dan Menteri Teladan” karya Suhartono, pasca dipensiunkan dini diusia 49 tahun, Hoegeng sungkem ke ibundanya sembari mengatakan, “Saya tidak punya pekerjaan lagi, Bu.” Namun sang ibu hanya menjawab dengan tenang, “Kalau kamu bersikap jujur dalam setiap langkah, kita masih bisa makan meski hanya dengan nasi dan garam.”
Atas kejujuran dan keberaniannya menyampaikan kebenaran, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sampai menelorkan sebuah anekdot tentang Hoegeng ini, “Hanya ada 3 (tiga) polisi jujur di Indonesia yaitu patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng.” Sedangkan salah satu kalimat bermakna dari Hoegeng yang diabadikan di Museum Polri adalah “Baik menjadi orang penting, tetapi jauh lebih penting menjadi orang baik.”