Seorang penulis sejarah Jakarta atau Batavia, Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Maria van Engels : menantu Habib Kwitang” menuliskan tentang tata cara pengiriman dan penjemputan jenazah di jaman Hindia Belanda sebelum dikuburkan di Kerkhoflaan atau Kebon Jahe Kober.
Pada saat jaman dahulu tentu belum ada kendaraan bermotor seperti mobil jenazah untuk membawa mayat dari rumah sakit ke tempat pemakaman. Sementara itu, untuk menaiki kereta kuda, waktu itu belum dibangun jalan raya dari Pasar Ikan, Kota ke Tanah Abang. Maka digunakanlah moda transportasi sungai berupa perahu dimana pihak rumah sakit jaman Hindia Belanda yang berlokasi di bekas Gedung BI di Jakarta Kota hanya menyediakan perahu jenazah bagi para pasien dan keluarganya untuk membawa mayat ke pemakaman Kebon Jahe Kober. Perahu jenazah itu akan diiringi dengan perahu sewaan keluarga mayat, menyusuri Kali Krukut yang dulunya masih lebar dan dalam dengan air yang jernih. Dalam sebuah laporan kuno disebutkan bahwa pada tahun 1825, kereta jenazah yang mengangkat mayat-mayat dari rumah sakit ke pemakaman Kebon Jahe Kober beroperasi sebanyak 2 (dua) kali sehari.
Setelah perahu jenazah melewati Kali Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk), kereta jenazah akan mengambil atau mengangkut mayat di ujung Jl Tanah Abang I (sekarang kira-kira di belakang Deppen). Dengan kereta jenazah berwarna hitam, jenazah selanjutnya akan dibawa ke pemakaman diikuti para pengiring yang berjalan kaki di belakangnya. Jumlah kuda penarik menunjukkan status sosial keluarga yang meninggal. Semakin banyak jumlah kuda yang digunakan maka dapat diartikan semakin tinggi kedudukan sosial keluarga mayat.
Sesampainya di ruang balairung Kebon Jahe Kober yang terletak di bagian depan kompleks pemakaman, jenazah kemudian disemayamkan terlebih dahulu. Sementara itu, di halaman belakang pemakaman terdapat sebuah lonceng perunggu yang tergantung di sebuah tiang besi dengan ketinggian sekitar 4 (empat) meter. Bunyi lonceng pertama oleh petugas menandakkan adanya berita kematian. Bunyi kedua menunjukkan adanya penyambutan datangnya jenazah yang baru diturunkan dari Kali Krukut sampai tiba di depan halaman Kebon Jahe Kober. Bunyi lonceng ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada petugas pemakaman agar segera mempersiapkan upacara pemakaman agar berjalan dengan lancar.
Setelah perahu jenazah melewati Kali Molenvliet (Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk), kereta jenazah akan mengambil atau mengangkut mayat di ujung Jl Tanah Abang I (sekarang kira-kira di belakang Deppen). Dengan kereta jenazah berwarna hitam, jenazah selanjutnya akan dibawa ke pemakaman diikuti para pengiring yang berjalan kaki di belakangnya. Jumlah kuda penarik menunjukkan status sosial keluarga yang meninggal. Semakin banyak jumlah kuda yang digunakan maka dapat diartikan semakin tinggi kedudukan sosial keluarga mayat.
Sesampainya di ruang balairung Kebon Jahe Kober yang terletak di bagian depan kompleks pemakaman, jenazah kemudian disemayamkan terlebih dahulu. Sementara itu, di halaman belakang pemakaman terdapat sebuah lonceng perunggu yang tergantung di sebuah tiang besi dengan ketinggian sekitar 4 (empat) meter. Bunyi lonceng pertama oleh petugas menandakkan adanya berita kematian. Bunyi kedua menunjukkan adanya penyambutan datangnya jenazah yang baru diturunkan dari Kali Krukut sampai tiba di depan halaman Kebon Jahe Kober. Bunyi lonceng ini dimaksudkan untuk memberi peringatan kepada petugas pemakaman agar segera mempersiapkan upacara pemakaman agar berjalan dengan lancar.