Selain berfungsi sebagai sebuah produk kesenian, sebuah film juga dapat digunakan sebagai sarana propaganda oleh pihak-pihak tertentu.
Awal munculnya film berbau propaganda di Indonesia adalah saat Panglima Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) pada tahun 1969 menerbitkan sebuah keputusan dibentuknya Projek Film Kopkamtib guna memproduksi film-film dokumenter yang digunakan sebagai media “peperangan psikologis”.
Salah satu film yang berhasil menjalankan fungsinya sebagai media propaganda pemerintah adalah Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini telah menjadi semacam sumber tunggal yang tersedia bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah peristiwa G30S dimana terdapat kewajiban kala itu bahwa semua pelajar harus menonton tayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Efek yang menimpa para pelajar adalah rasa trauma dan ketakutan yang luar biasa atas ditampilkannya sejumlah adegan yang dianggap terlalu sadis.
Salah satu film yang berhasil menjalankan fungsinya sebagai media propaganda pemerintah adalah Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini telah menjadi semacam sumber tunggal yang tersedia bagi masyarakat yang ingin mengetahui sejarah peristiwa G30S dimana terdapat kewajiban kala itu bahwa semua pelajar harus menonton tayangan film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Efek yang menimpa para pelajar adalah rasa trauma dan ketakutan yang luar biasa atas ditampilkannya sejumlah adegan yang dianggap terlalu sadis.
Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dibuat berdasarkan pada sebuah naskah buku yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh yang berjudul “Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia.” Film ini dipersiapkan dan diproduksi selama sekitar 2 (dua) tahun (selesai pada tahun 1984) yang dibiayai oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto. Sutradara film dipercayakan kepada Arifin C. Noer dengan produser G. Dwipayana. Artis yang dilibatkan dalam film ini antara lain Amoroso Katamsi, Umar Kayam, Syubah Asa, dan lain-lain.
Dikisahkan bahwa di tengah-tengah sakitnya Presiden Soekarno (Umar Kayam) muncul sebuah dokumen palsu yang menyatakan akan adanya kudeta yang disiapkan oleh Dewan Jenderal. Issue inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk melakukan kudetanya sendiri. Dengan dukungan dari sejumlah perwira berlatar belakang Angkatan Udara (AU), mereka mulai bekerja untuk menyusun skenario penggulingan kekuasaan. Rencana terkejam yang berhasil direalisasikan adalah penculikan tujuh jenderal dimana pada 30 September 1965 malam dilakukan pembagian team guna menyasar rumah ketujuh jenderal tersebut. Tokoh yang berhasil ditangkap hidup-hidup kemudian diseret dan mendapat penyiksaan di Lubang Buaya antara lain MT Haryono, Sutoyo Siswomiharjo, Siswondo Parman, dan Soeprapto. Sedangkan yang tewas di kediamannya masing-masing antara lain Ahmad Yani, DI Panjaitan, dan Pierre Tendean. Sementara itu Abdul Harris Nasution berhasil melarikan diri dari rumahnya dengan melompati tembok yang berbatasan dengan Kedutaan Besar Irak.
Adegan yang paling monumental sekaligus mengerikan tentunya adalah saat para jenderal yang masih hidup saat ditangkap di kediamannya masing-masing, mendapat penyiksaan yang luar biasa. Gerombolan PKI digambarkan sangat menikmati kekerasan yang menimpa jenderal-jenderal tersebut antara lain ditampilkan dalam adegan perempuan yang mencungkil mata dan tubuh yang telah membusuk. Sementara yang masih hidup diikat kedua tangan pada sebuah tiang dengan mendapat penyiksaan sambil diperlihatkan tarian yang mengitari api unggun.
Meskipun film ini sudah tidak wajib ditayangkan di stasiun TV namun versi kopi 35 mm dan VHSnya masih tersimpan di Sinematek Indonesia sementara poster filmnya dapat disaksikan di Perpustakaan Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail yang menempati gedung yang sama (beda lantai).