Selama tinggal di kota ini, saya banyak mendengar bahwa warga Kota Batam banyak memilih melakukan pengobatan medis ke negeri jiran.
Sebenarnya di Batam sendiri sudah banyak rumah sakit yang berdiri, baik milik pemerintah seperti RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Embung Fatimah dan RSOB (Rumah Sakit Otorita Batam) maupun milik swasta seperti RSAB (Rumah Sakit Awal Bros), RSBK (Rumah Sakit Budi Kemuliaan). Ada total sekitar 30-an rumah sakit yang siap menerima pasien warga Kota Batam khususnya maupun warga Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya.
Namun demikian, keberadaan rumah sakit yang sebegitu banyaknya di kota ini tidak selalu dapat memuaskan kebutuhan warganya yang memerlukan pengobatan medis. Banyak diantaranya yang lebih memilih memeriksakan kesehatannya ke negeri seberang. Jika punya uang banyak akan mengunjungi Singapura, namun jika budgetnya terbatas akan menuju Malaysia, terutama di negara bagian yang tidak memakan perjalanan lama dari Pulau Batam seperti Johor Bahru.
Dengan makin banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri tentunya dapat mengurangi image baik pelayanan rumah sakit lokal. Namun bisa jadi alasan yang dikemukakan pasien lokal lebih memilih Malaysia, selain faktor biaya berobat yang masih terjangkau, terdapat juga alasan lain yang masuk akal seperti peralatan medis yang lebih canggih plus faktor pelayanan petugas medis yang lebih prima dan dapat diandalkan. Maklum saja, bisnis rumah sakit adalah sebuah bisnis jasa yang sangat mengandalkan kepercayaan pelanggannya. Apabila pasien merasa sudah tidak begitu dilayani dengan baik niscaya mereka akan lari dan memilih untuk mencari alternatif rumah sakit lain yang dapat dipercaya. Terkadang cara melakukan treatment terhadap pasien berbeda antara rumah sakit di Batam dengan rumah sakit di Malaysia. Hal ini akan berpengaruh pada profil hasil pengecekan kesehatan yang diterima oleh pasien. Ketidakakuratan dokter dalam mendiagnosa penyakit tentunya akan berpengaruh pada tata cara penanganan kesembuhan pasien ke depan. Begitu juga dari aspek psikologis pasien dan keluarganya terhadap hasil diagnosa yang bisa saja terlalu berlebihan jika dilakukan oleh tenaga dokter lokal.
Seorang kompasioner menceritakan kisah pengalamannya berobat ke Malaysia ketika ia mendapati hasil medical check up-nya menunjukkan nilai SGPT dan SGOT berada di atas ambang batas normal. Dokter yang memeriksanya menyatakan bahwa ia mengalami kelainan pada organ hati (liver). Pemeriksaan ulang kemudian dilakukan termasuk melakukan pengecekan dengan alat ultrasonografi (USG) namun tidak ada hasil yang menunjukkan kelainan hati dimaksud. Berdasarkan histori, si kompasioner itu memang pernah menderita hepatitis B yang ditemukan 15 (lima belas) tahun lalu. Selanjutnya dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih mendalam dengan alat MRE (Magnetic Resonance Elastography) guna mengetahui ada tidaknya fibrosis pada organ hati. Mengingat di Kota Batam belum ada rumah sakit yang memiliki alat MRE, dokter lalu memberikan rujukan ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Namun dengan alasan jarak Batam – Jakarta yang terlalu jauh, si kompasioner ini akhirnya memilih untuk melakukan pemeriksaan ke Johor Bahru, Malaysia.
Maka menjadi hal wajar kiranya jika banyak ditemukan fakta bahwa masyarakat atau warga Batam dan Kepulauan Riau lebih suka memilih Malaysia sebagai tujuan berobat. Faktor biaya, waktu, peralatan rumah sakit, dan pelayanan petugas medis menjadi sejumlah pertimbangan yang dijadikan dasar bagi mereka untuk menyeberang ke negeri jiran tersebut.