Jam
di pergelangan tangan menunjukkan pukul 08.05 WIB. Setelah segelas kopi hitam
amblas disruput habis dengan menyisakan ampas kopi di Warung Mak Ipah, kini saatnya memulai pendakian solo secara “tek-tok” ke
puncak Gunung Manglayang berketinggian 1.818 mdpl.
Dengan
semangat 45, saya mulai melangkahkan kaki keluar dari warung untuk memutar ke
arah belakang dengan membawa tas carrier
yang isinya sangat minimalis : beberapa botol minuman, roti, baju ganti, dan jas
hujan !.
Sambil melihat situasi kanan kiri, pandangan mata tertuju pada sebuah plang hijau yang berdiri di area belakang warung yang bertuliskan “Tanah Milik Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Dikelola oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Pengunjung dilarang : (1) menggarap/memperjualbelikan/memindahtangankan tanah garapan (2) memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya (3) menebang pohon/membakar/menggembalakan ternak (4) merusak sarana dan prasarana (5) mendirikan bangunan/membuang sampah, dan (6) berburu, membawa/mengangkut tumbuhan dan satwa liar”.
Sambil melihat situasi kanan kiri, pandangan mata tertuju pada sebuah plang hijau yang berdiri di area belakang warung yang bertuliskan “Tanah Milik Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Dikelola oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Pengunjung dilarang : (1) menggarap/memperjualbelikan/memindahtangankan tanah garapan (2) memanfaatkan lahan untuk kepentingan lainnya (3) menebang pohon/membakar/menggembalakan ternak (4) merusak sarana dan prasarana (5) mendirikan bangunan/membuang sampah, dan (6) berburu, membawa/mengangkut tumbuhan dan satwa liar”.
Setelah
melangkahi sebuah aliran sungai kecil alias selokan yang airnya jernih dan suaranya bergemericik, kaki terus berjalan melewati perkebunan jeruk
nipis yang tak begitu luas. Lalu mulailah terlihat sebuah pemandangan trek
awal lurus yang agak landai dan belum begitu kelihatan terjalnya. Hati masih merasa riang karena
optimis bahwa dengan kemiringan sekitar 30 derajat, tentu tak akan sulit
melewatinya.
Awalnya jalan yang dilalui hanya berupa tanah keras biasa tanpa bebatuan namun makin lama kontur tanah makin tidak rata dan makin ke atas sudut kemiringannya makin besar, lebih dari 45 derajat. Dan jika dicermati lebih lanjut, trek tersebut di tengah-tengahnya merupakan jalur aliran air yang turun dari atas gunung, semacam selokan kecil yang siap menggelontorkan “air bah” saat musim hujan tiba. Untungnya saja pada saat saya ke sana di bulan Oktober 2019 lalu belum masuk musim penghujan sehingga kondisi tanah cukup stabil dijadikan sebagai pijakan sepasang sepatu yang saya pakai. Bayangkan saja jika hujan turun, jalur tersebut dipastikan akan licin sehingga menyulitkan gerakan kaki untuk melangkah naik. Namun di saat musim kemarau, pilihan yang harus dihadapi adalah debu yang beterbangan ke mana-mana. Maka tak ada salahnya jika Anda harus mempersiapkan kain penutup sebagai masker pelindung hidung dan mulut.
Awalnya jalan yang dilalui hanya berupa tanah keras biasa tanpa bebatuan namun makin lama kontur tanah makin tidak rata dan makin ke atas sudut kemiringannya makin besar, lebih dari 45 derajat. Dan jika dicermati lebih lanjut, trek tersebut di tengah-tengahnya merupakan jalur aliran air yang turun dari atas gunung, semacam selokan kecil yang siap menggelontorkan “air bah” saat musim hujan tiba. Untungnya saja pada saat saya ke sana di bulan Oktober 2019 lalu belum masuk musim penghujan sehingga kondisi tanah cukup stabil dijadikan sebagai pijakan sepasang sepatu yang saya pakai. Bayangkan saja jika hujan turun, jalur tersebut dipastikan akan licin sehingga menyulitkan gerakan kaki untuk melangkah naik. Namun di saat musim kemarau, pilihan yang harus dihadapi adalah debu yang beterbangan ke mana-mana. Maka tak ada salahnya jika Anda harus mempersiapkan kain penutup sebagai masker pelindung hidung dan mulut.
Tingkat
kehati-hatian dan kewaspadaan mulai harus dinaikkan levelnya saat memasuki trek
yang makin terjal dan di kanan kirinya terdapat jurang. Terkadang tangan harus
menggapai bebatuan atau akar pohon yang menjulur di sepanjang kanan dan kiri
jalur pendakian. Celana panjang yang dipakai sudah mulai kotor oleh tanah dan
debu. Nafas pun mulai terasa berat dan tenaga mulai
kendor, maka tak ada jalan lain untuk sejenak beristirahat di beberapa titik guna mengambil udara segar serta menambah stamina yang berkurang. Minuman penambah energi semacam Pocari Sweat terasa begitu berharga di saat-saat seperti itu.
Saya tiba di Pos 2 pada jalur pendakian gunung tersebut pada pukul 09.25 WIB atau
setelah berjalan sekitar 1 jam 20 menit dari Warung Mak Ipah yang boleh disebut
sebagai Pos 1. Namun jangan dibayangkan bahwa di pos tersebut berdiri sebuah
bangunan permanen semacam shelter
untuk tempat beristirahat. Yang ada hanya sepetak tanah datar dimana pendaki
dapat memanfaatkan tempat itu untuk melepas penat sembari mengumpulkan tenaga
kembali sebelum melanjutkan pendakian.
Dari
Pos 2 ke Pos 3 masih didominasi oleh jalur yang terjal dengan beberapa batang
pohon terlihat tumbang menghalangi trek tanah kering dan berdebu. Sampailah di
Pos 3 pada pukul 09.40 WIB atau hanya memerlukan waktu sekitar 15 menit saja
dari Pos 2. Di sini saya kembali berdiam diri sejenak sambil mengumpulkan
tenaga yang masih ada. Minum air yang cukup harus tetap dilakukan agar
terhindar dari dehidrasi. Dan perlu diingat bahwa di sepanjang jalur pendakian
Gunung Manglayang ini tidak ada aliran sungai atau sumber mata air sehingga
sangat disarankan untuk membawa bekal minuman yang cukup selama menjalani
petualangan menaiki gunung tersebut.
Dari
Pos 3 menuju Pos 4 atau lokasi camping
ground yang berdekatan dengan Puncak Bayangan memerlukan waktu sekitar 10
menit saja dari Pos 3 karena tingkat kesulitan trek-nya tidak seperti jalur di
bawah. Sepanjang jalur ini juga sudah rapat ditumbuhi pepohonan yang tinggi dan
rindang sehingga cukup membuat pendaki terlindung dari sengatan matahari
langsung dari atas.
Tiba
saatnya untuk beristirahat lebih lama di Pos 4. Tas ransel dibongkar untuk
mencari “harta karun” berupa roti sebagai penghilang rasa lapar. Begitu juga
sebotol lemon tea segera ludes masuk kerongkongan. Di sini terlihat beberapa pendaki sudah
tiba terlebih dahulu, mungkin mereka melakukan pendakian di malam hari sebelum
paginya saya melangkahkan kaki dari Warung Mak Ipah. Dan untuk memperoleh
kepuasan batin, saat tiba di Pos 4, Anda dapat sepuasnya menikmati pemandangan indah nan luas Kota Bandung dan sekitarnya di sebuah bukit kecil
yang berada tak jauh dari Pos 4. Lokasi itulah yang dikenal dengan sebutan Puncak
Bayangan (biasanya pada beberapa gunung terdapat puncak yang bukan merupakan
titik tertinggi namun mirip kondisinya seperti di tempat yang sebenarnya diburu
para pendaki).
Setelah
puas mengambil beberapa swa foto di Puncak Bayangan, saya yang pada awalnya bermaksud
meneruskan perjalanan menuju puncak Gunung Manglayang yang sesungguhnya, ternyata salah arah. Trek yang saya lalui malah menuju arah kembali turun ke Baru Beureum sehingga misi “menduduki” puncak Manglayang tidak terwujud. Namun demikian, bisa tiba di Puncak Bayangan juga merupakan kepuasan tersendiri. Dan secara pendapat
beberapa pendaki yang sudah pernah ke sana, titik yang banyak diincar pendaki adalah di Puncak Bayangan karena di sanalah pendaki akan mendapatkan bonus pemandangan yang ciamik seantero Kota Bandung terutama wilayah timur. Lebih mantap lagi jika pendaki bermalam di sana sehingga dengan mata telanjang dapat melihat temaram warna-warni lampu kota yang bersinar di kejauhan.
Beberapa saat di Puncak Bayangan, saatnya
untuk turun dan meninggalkan jejak pendakian Gunung Manglayang ketika jam
menunjukkan pukul 10.30 WIB. Keharusan untuk segera turun selain disebabkan
karena misi pendakian yang hanya bersifat “tek-tok”, pada malam hari Minggu itu
juga saya harus kembali ke Jakarta menggunakan jasa shuttle travel yang sudah
dipesan sebelumnya. Jangan sampai terpaksa telat masuk kantor hanya gara-gara berlibur dan lupa untuk pulang kembali ke tempat asal.
Bagaimana
dengan perjalanan menuruni Gunung Manglayang ini ?. Sekilas kelihatannya mudah
saja, toh hanya turun saja. Namun jangan disangka semudah itu. Ketika naik,
tenaga yang diperlukan hanya untuk menarik beban badan ke atas, namun ketika
turun, beban atau berat badan sendiri yang justru menjadi problem. Di saat
sendi-sendi lutut masih lemas alias lunglai, kita harus menahan berat badan
saat berjalan berdiri. Maka jalan satu-satunya untuk mengurangi beban tubuh
sendiri itu adalah dengan berjalan dengan posisi bagian punggung berada dekat
tanah atau pantat langsung mengenai tanah dengan tangan menahan beban tubuh.
Jika sudah tidak kuat terpaksa harus menggelosorkan diri seperti akan terjun
bebas namun harus tetap ekstra hati-hati dimana tangan harus berusaha menggapai
pegangan yang kuat seperti akar pohon atau bebatuan keras. Tentu saja debu dari
tanah yang tergesek akibat gerakan “penggelosoran” ini lebih dahysat sehingga
kain penutup mulut dan hidung sebaiknya tetap dipakai.
Dapat disimpulkan bahwa pendakian saya dari start Warung Mak Ipah sampai di Puncak Bayangan memerlukan waktu sekitar 1 jam 45 menit dengan rincian trekking : 1 jam 20 menit (Warung Mak Ipah – Pos 2) + 15 menit (Pos 2 – Pos 3) + 10 menit (Pos 3 – Pos 4 atau Puncak Bayangan). Catatan waktu ini mungkin dapat dikatakan relatif cepat (dalam kondisi tidak ada “bonus” sepanjang jalur pendakian) karena ritme waktu dapat saya atur sendiri, berbeda dengan rombongan yang mungkin akan bergantung pada kecepatan individu-individu lainnya.
Sementara total waktu perjalanan turun dari Puncak Bayangan sampai Warung Mak Ipah sekitar 1 jam 30 menit. Artinya tidak banyak berbeda waktunya saat naik ke atas. Siang itu sebelum meninggalkan lokasi, saya menyempatkan mampir di Warung Mak Ipah untuk memesan segelas teh manis guna memulihkan tenaga yang hilang. Selanjutnya saya pun mengontak mamang ojek yang pagi tadi mengantar saya dari Jatinangor ke warung ini untuk menjemput saya kembali turun ke bawah.
Dapat disimpulkan bahwa pendakian saya dari start Warung Mak Ipah sampai di Puncak Bayangan memerlukan waktu sekitar 1 jam 45 menit dengan rincian trekking : 1 jam 20 menit (Warung Mak Ipah – Pos 2) + 15 menit (Pos 2 – Pos 3) + 10 menit (Pos 3 – Pos 4 atau Puncak Bayangan). Catatan waktu ini mungkin dapat dikatakan relatif cepat (dalam kondisi tidak ada “bonus” sepanjang jalur pendakian) karena ritme waktu dapat saya atur sendiri, berbeda dengan rombongan yang mungkin akan bergantung pada kecepatan individu-individu lainnya.
Sementara total waktu perjalanan turun dari Puncak Bayangan sampai Warung Mak Ipah sekitar 1 jam 30 menit. Artinya tidak banyak berbeda waktunya saat naik ke atas. Siang itu sebelum meninggalkan lokasi, saya menyempatkan mampir di Warung Mak Ipah untuk memesan segelas teh manis guna memulihkan tenaga yang hilang. Selanjutnya saya pun mengontak mamang ojek yang pagi tadi mengantar saya dari Jatinangor ke warung ini untuk menjemput saya kembali turun ke bawah.