Setelah
sejumlah tempat berhasil saya kunjungi dalam berbagai kesempatan traveling baik secara solo maupun rombongan, saya pun mencoba
melakukan perjalanan yang agak berbeda yaitu naik gunung !.
Perlu
diketahui bahwa selama ini saya belum pernah melakukan pendakian gunung, paling
hanya trekking biasa saja di kakinya
alias “berputar-putar” saja di bawah dan belum pernah berkelana sampai naik ke
puncak.
Dan
akhir-akhir ini saya tertarik untuk menjajal melakukan olahraga ekstrim yang
satu ini meski dengan pengetahuan yang masih minim. Maka sebagai pendaki gunung
pemula, langkah pertama yang dilakukan adalah mencari gunung yang tingkat
kesulitannya tidak terlalu tinggi. Hasil googling
menyatakan bahwa Gunung Manglayang merupakan salah satu tipe gunung yang cocok
dinaiki bagi para pendaki pemula (meskipun pada kenyataannya tidak 100%
benar…he…he…he…).
Mengapa
Gunung Manglayang yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung dan Sumedang ini
sering dikatakan sebagai lokasi pendakian yang cocok bagi pendaki pemula ?.
Jawaban umum yang dapat diberikan adalah karena ketinggiannya yang hanya
mencapai 1.818 (seribu delapan ratus delapan belas) mdpl. Disamping itu, jalur
pendakiannya pun mudah diingat sehingga memperkecil kemungkinan risiko tersesat
di tengah hutan rimba peggunungan. Dan yang terakhir, sinyal HP masih dapat
tertangkap sampai di puncak gunung !.
Maka,
ketika informasi tentang gunung tersebut sudah diperoleh secara cukup alias
memadai, berangkatlah saya menuju lokasi yang dituju : Gunung Manglayang.
Karena posisi awal keberangkatan dari Kota Bandung, atas saran saudara yang
tinggal di Bandung, saya dari sejak pagi sebaiknya menuju Baltos (Balubur Town
Square), tempat dimana sejumlah shuttle
travel akan mengantarkan penumpang jarak pendek ke tujuan Jatinangor,
Sumedang. Ya, saat ini sudah ada alternatif moda transportasi yang nyaman dan
cepat bagi warga Bandung, terutama para mahasiswa “commuter” yang pergi pulang
kuliah di UNPAD atau ITB kampus Jatinangor.
Maka
segeralah saya memesan Grab Bike dari
rumah saudara ke Baltos setelah perut diisi sarapan yang cukup. Tas carrier tak lupa dibawa guna menyimpan
sejumlah perlengkapan ringan namun tanpa membawa tenda camping karena “misi” yang
dijalankan hanya ingin menjejakkan kaki sebentar di puncak gunung tanpa
menginap (dikenal sebagai pendakian secara “tektok”, bukan “tiktok” ya…).
Sesampainya
di Baltos, saya pun menuju loket sebuah perusahaan shuttle travel bernama Pasteur
Trans dengan keberangkatan pukul 06.30 WIB. Setelah membayar ongkos sebesar
Rp 15.000,00, saya pun menunggu tak terlalu lama sampai kemudian masuk ke dalam
mobil Toyota HiAce berkapasitas sekitar 16 (enam belas) orang tersebut. Dengan
kondisi lalu-lintas yang masih sepi di pagi hari, si HiAce ini melaju kencang
melewati rute Jembatan Pasupati, Pasteur, Pintu Tol Pasteur, Tol Padaleunyi,
Pintu Tol Cileunyi, dan berakhir di Jatinangor. Tak sampai 1 (satu) jam, saya
pun sampai di pool-nya Pasteur Trans yang berada di pinggir
Jalan Raya Jatinangor, tak jauh dari pertigaan dimana sejumlah mamang-mamang
ojek pangkalan berkumpul.
Perjalanan
pun dilanjutkan dengan memesan ojek tersebut dengan ongkos Rp 30.000,00 sekali
jalan untuk tujuan akhir Baru Beureum dimana di situ adalah titik terakhir
dimana sepeda motor dan kendaraan roda empat bisa parkir. Bilang saja ke mamang
ojek-nya bahwa kita mau naik Gunung Manglayang via Baru Beureum, insyaAllah mereka sudah
faham karena sudah terbiasa menerima orderan antar jemput penumpang yang hendak
menaiki Gunung Manglayang via Baru Beureum. Nah, mengingat tidak selalu ada
mamang ojek lain yang stand-by di
Baru Beureum maka untuk keperluan penjemputan (jika pendakian telah selesai dan
akan kembali dari Baru Beureum ke Jatinangor) sebaiknya pendaki meminta nomor HP
si mamang.
Perjalanan
ojek dari pangkalan Jl Raya Jatinangor sampai dengan Pos Pendakian Baru Beureum
ditempuh dalam waktu sekitar 30 (tiga puluh) menit dengan menembus kompleks
kampus UNPAD (Universitas Padjadjaran) lalu Jl Karatas, Cileles, dimana pada
hari Minggu pagi biasanya digelar pasar jual beli berbagai kebutuhan rumah
tangga seperti pakaian, dan lain-lain (disebut Pasar Wisata Jatinangor), lalu
akan melewati juga proyek jalan tol Cisumdawu, Bumi Perkemahan Kiarapayung,
lalu keluar lagi melewati jalan bebatuan sampai ditemukan warung kecil yang di
depannya terdapat plang mencolok berwarna biru bertuliskan “Jalur Pendakian
Baru Beureum” yang dibuat oleh Wapa Manggala IPDN.
Setelah
merogok kocek buat membayar ojek si mamang, saya pun menyempatkan diri terlebih
dahulu untuk mampir ke warung -yang dari hasil googling katanya dijaga oleh- Mak Ipah. Namun saat saya memesan segelas
kopi sembari menanyakan keberadaan Mak Ipah, ternyata dari seorang perempuan
yang menjaga warung, Mak Ipah sudah lama tidak lama beraktivitas di situ karena
sakit-sakitan. Dan dari googling juga
katanya pendaki harus membayar semacam uang masuk kepada Mak Ipah sebagai
“pengelola” meski setelah saya konfirmasi kepada si perempuan yang saya temui
sebenarnya tidak ada uang masuk bagi pendaki karena belum dikelola secara resmi
oleh instansi tertentu seperti Perhutani atau lainnya.
Akhirnya setelah beberapa menit mengumpulkan tenaga di Warung Mak Ipah itu dan segelas kopi yang dipesan habis, saya pun pamit kepada “pengganti”nya Mak Ipah itu untuk mulai menapakkan kaki menyusuri jalur pendakian yang ada di belakang warung persis.
Akhirnya setelah beberapa menit mengumpulkan tenaga di Warung Mak Ipah itu dan segelas kopi yang dipesan habis, saya pun pamit kepada “pengganti”nya Mak Ipah itu untuk mulai menapakkan kaki menyusuri jalur pendakian yang ada di belakang warung persis.