Setelah
mengunjungi Rumah Bersejarah Inggit Garnasih, kini saya ingin tuliskan sebuah
fragmen dari sejarah hidup almarhumah semasa masih kecil sampai menikah dengan
Soekarno dimana sepenggal kisah kehidupannya ini menurut saya boleh dibilang cukup
rumit untuk diceritakan.
Terlahir
dari pasangan orang tua bernama Ardjipan dan Amsi pada tanggal 17 Februari 1888
di Desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung, nama kecil beliau pada awalnya
hanya Garnasih saja. Konon kata Garnasih merupakan gabungan dari kata “hegar”
yang artinya “segar dan menghidupkan” dan “asih” yang artinya “kasih sayang”.
Dari
foto beliau semasa usia 35 tahun yang terpampang di Rumah
Bersejarah Inggit Garnasih, Kota Bandung, masih tersirat gurat-gurat
kecantikan seorang gadis khas Sunda. Pantas saja, karena kecantikannya itulah,
banyak pemuda menaruh hati kepadanya. Bisa dibilang, Garnasih saat itu adalah
kembang desa yang menjadi pujaan banyak laki-laki. Jika berpapasan dengan
Garnasih lalu mendapat lemparan senyum darinya maka para pemuda itu seakan
mendapatkan uang 1 (satu) ringgit. Dari sinilah panggilan Garnasih kemudian
sering ditambahi dengan “Si Ringgit” dimana seiring dengan waktu, agar lebih
enak dan manis didengar, panggilan Ringgit ini berubah menjadi Inggit sehingga
nama lengkapnya berubah menjadi Inggit Garnasih.
Pada
usia yang relatif sangat muda, 12 (dua belas) tahun, ia dijodohkan dengan
seorang pegawai di Karesidenan Priangan bernama Nata Atmadja. Sayang seribu
sayang, karena pernikahan tersebut tidak dilandasi rasa cinta diantara keduanya
maka ikatan janji suci itu tidak berlangsung lama. Bahtera rumah tangga mereka
putus di tengah jalan. Bukan karena adanya pihak ketiga layaknya cerita
“Layangan Putus” yang sedang viral itu namun lebih banyak pada adanya ketidakcocokan
diantara mereka berdua.
Pasca
perceraiannya dengan Nata Atmadja, ia kemudian menikah dengan Haji Sanusi,
seorang pengusaha pribumi yang juga aktivitis organisasi SI (Sarekat Islam).
Secara umum (sebelum Soekarno muda “masuk” dalam kehidupan Inggit), pernikahan
keduanya berjalan lancar-lancar saja meskipun tidak juga dapat dibilang
romantis. Hal ini mengingat suaminya yang seorang pengusaha dan aktivis membuat
frekuensi atau intensitas pertemuan mereka boleh dibilang minim. Di sinilah
gelombang ujian itu datang dalam bentuk yang berbeda dari pernikahan yang
pertama. Ada unsur pihak ketiga yang turut memperburuk keadaan yaitu hadirnya
Soekarno dalam kehidupan pribadi Inggit. Kisah ini lebih menegangkan karena
status keduanya sama-sama masih menjadi suami dan isteri dari pasangan rumah
tangganya masing-masing : Soekarno adalah suami dari Oetari binti HOS Tjokroaminoto,
dan Inggit Garnasih adalah isteri dari Haji Sanusi. Dalam buku biografi
Soekarno berjudul “Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karangan
Cindy Adams bahkan ditulis kejadian erotik yang menimpa keduanya pada sebuah
kesempatan ketika Soekarno bertatap muka dengan Inggit pada suatu malam di
rumah kediaman Inggit dan Haji Sanusi. Soekarno yang nota benenya adalah anak
kost di rumah tersebut (setamat HBS-Hogere Burger School Soerabaja pada tahun
1921, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool dengan
mengambil Jurusan Teknik Sipil) telah melakukan perbuatan tabu.
Pertanyaannya,
mengapa ia bisa menempati rumah Inggit sehingga terjadilah “cinlok” alias cinta
lokasi di sana ?. Suami Inggit yang bernama Haji Sanusi ternyata adalah anggota
SI (Sarekat Islam), organisasi yang sama dengan HOS Tjokroaminoto. Sementara
HOS Tjokroaminoto disamping mengenal baik Haji Sanusi, beliau juga adalah mertua
Soekarno. Wajar jika kemudian HOS “menitipkan” Soekarno kepada Haji Sanusi
selama menempuh pendidikannya di Kota Bandung. Di sinilah petaka mulai muncul
karena rupanya benih-benih cinta mulai tumbuh dan tertanam di hati Soekarno
kepada Inggit Garnasih yang berstatus istri orang dan induk semang alias ibu
kost Soekarno. Perkara cinta terbukti bisa muncul kapan saja dan dalam situasi
yang tak terduga. Bahkan cinta itu sendiri absurd
dan kadang tak masuk akal, misal dalam contoh ini adalah adanya jarak usia yang
terpaut jauh antara Soekarno dan Inggit : usia Inggit kala itu 13 (tiga belas) tahun
lebih tua dari Soekarno. Beberapa analisa menunjukkan bahwa Soekarno lebih
merasa “klik” jika berdiskusi dengan Inggit dalam menceritakan perjuangan
politiknya (dibanding dengan Oetari yang mungkin masih cenderung
kekanak-kanakan). Kombinasi antara ketertarikan fisik dan non fisik inilah yang
membuat Soekarno dan Inggit merasa saling menemukan kecocokan diantara
keduanya. That’s all !.
Lalu
bagaimana dengan reaksi Haji Sanusi sebagai suami sah Inggit saat itu ?.
Ternyata tidak ditemukan reaksi kemarahan dari diri Haji Sanusi ketika
mengetahui bahwa istrinya itu memiliki ketertarikan pada laki-laki lain. Entah
karena faktor karakter atau sosok Haji Sanusi yang cenderung pendiam sehingga
lebih bersikap mengalah atau karena ada hal lain, nyatanya ia seperti seolah
memberikan jalan atau lampu hijau kepada Soekarno untuk “mengambil” istrinya
sebagai pendamping Soekarno. Suatu sikap yang sulit untuk diterima akal sehat.
Bahkan dalam sebuah versi, Soekarno sendiri yang kemudian mengutarakan niatnya
kepada Haji Sanusi untuk mempersunting istrinya Haji Sanusi menjadi isterinya
Soekarno meskipun di sisi lain, Soekarno sendiri masih merupakan suami dari
Oetari binti HOS.
Pernikahan
Soekarno dan Inggit pada akhirnya benar-benar terjadi dan dilangsungkan pada
tanggal 24 Maret 1923 bertempat di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveemweg,
Bandung. Sebelumnya, Soekarno menceraikan Oetari terlebih dahulu lalu “dikembalikan”
kepada HOS Tjokroaminoto di Surabaya (praktis usia pernikahan Soekarno dan
Oetari hanya berlangsung selama 2 tahun saja).
Sampai di sini dulu saya tutup tulisan ini. Next akan saya coba sambung kisah perjalanan rumah tangga mereka pra dan pasca masa pengasingan Soekarno dimana masa-masa ini juga menjadi periode tersulit yang harus dilalui kedua insan tersebut.
Sampai di sini dulu saya tutup tulisan ini. Next akan saya coba sambung kisah perjalanan rumah tangga mereka pra dan pasca masa pengasingan Soekarno dimana masa-masa ini juga menjadi periode tersulit yang harus dilalui kedua insan tersebut.