Bangunan
yang menjadi ikon bersejarah atas keberadaan kampus ITB (Institut Teknologi
Bandung) adalah 2 (dua) gedung ‘kembar’ yang berdiri di sisi timur dan barat
kampus yang terlihat dari sisi Jalan Ganesha 10 Bandung.
Dalam
sejarahnya, bangunan Aula Timur dan Aula Barat kampus ITB dirancang oleh
arsitek berkebangsaan Belanda bernama Henri Maclaine Pont pada tahun 1918 yang
kemudian dituangkan dalam bentuk pembangunan fisik pada tahun 1919 sampai 1920.
Desain yang dikembangkan oleh pria kelahiran Meester Cornelis atau Jatinegara, 21 Juni 1885, pada kedua bangunan tersebut merupakan perpaduan antara arsitektur modern (barat) dengan arsitektur lokal dimana ia mengadopsi penataan ruang dari keraton-keraton di Jawa yang penghubung antar ruang menggunakan selasar.
Desain yang dikembangkan oleh pria kelahiran Meester Cornelis atau Jatinegara, 21 Juni 1885, pada kedua bangunan tersebut merupakan perpaduan antara arsitektur modern (barat) dengan arsitektur lokal dimana ia mengadopsi penataan ruang dari keraton-keraton di Jawa yang penghubung antar ruang menggunakan selasar.
Henri
sendiri memperoleh pendidikan arsitektur di Institut Teknologi Delft (TH Delft)
Belanda. Sekembali dari pendidikan di negeri kincir angin itu, ia kemudian
mendirikan sebuah firma arsitek. Selain Aula Timur dan Barat ITB, ia juga
mendesain Stasiun Poncol di Semarang, Stasiun Tegal di Tegal, dan gereja
Pohsarang di Kediri. Sedangkan dalam bidang arkeologi, karya terbesar beliau
adalah pendeskripsian konsep tata kota dari ibukota Majapahit di Trowulan.
Desain
ruangan dalam pada kedua aula tersebut mengadopsi gaya pendopo Jawa. Ia
berhasil mengaplikasikan teknologi rancang bangun yang menghasilkan ruangan
luas namun tanpa pilar di tengah-tengah ruangan. Nama teknologi yang dipakai
adalah patent laminated wooden arc
construction parts atau busur kayu yang diikat cincin besi.
Secara teknis, bangunan aula berdiri di atas 5 (lima) busur kayu lapis jati yang direkat dengan lem plus penguatan klem baja. Bentang busur memiliki panjang 15 (lima belas) meter dengan jarak antar busur 6 (enam) meter. Struktur utamanya merupakan struktur pelengkung atau busur yang terdri dari papan tipis sebanyak 35 (tiga puluh lima) lembar yang direkatkan satu sama lain dan diikat di beberapa titik.
Secara teknis, bangunan aula berdiri di atas 5 (lima) busur kayu lapis jati yang direkat dengan lem plus penguatan klem baja. Bentang busur memiliki panjang 15 (lima belas) meter dengan jarak antar busur 6 (enam) meter. Struktur utamanya merupakan struktur pelengkung atau busur yang terdri dari papan tipis sebanyak 35 (tiga puluh lima) lembar yang direkatkan satu sama lain dan diikat di beberapa titik.
Bagian
bangunan yang paling menarik untuk dilihat dan dianalisa dari Aula Timur dan
Aula Barat ITB tentu saja adalah bagian atap yang mengadopsi gaya bangunan
tradisional di Indonesia dimana bahan yang dipakai adalah sirap yang terbuat
dari material kayu ulin atau kayu besi. Bahan ini banyak ditemukan di Pulau
Kalimantan sebagai salah satu daerah penghasil kayu ulin di Indonesia.
Keunggulan dari kayu ulin adalah sangat kuat dan awet karena tahan dari
serangan rayap maupun serangga penggerek batang.
Dan menariknya lagi, terdapat sejumlah perbedaan pendapat diantara para pemerhati arsitektur terhadap desain atap bangunan kedua aula ITB tersebut. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bentuk bagian atap Aula Timur dan Barat ITB mirip dengan Rumah Betang yaitu rumah adat Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara ada juga yang menyatakan bahwa bentuk atapnya meniru rumah Kampung Papandak. Prof Ir van Romondt, guru besar arsitektur ITB berpendapat bahwa atap bangunan mirip dengan rumah adat Batak Karo. Pendapat lain dilontarkan oleh Soewarno Darsopajitno, mantan Kepala Museum Geologi Bandung, dimana ia menyatakan bahwa bangunan aula tersebut merupakan modernisasi dari bentuk rumah adat Sunda, Julang Ngapak. Sedangkan pendapat yang paling umum beredar adalah bahwa bentuk atap menyerupai bentuk dasar atap Rumah Minangkabau, Sumatera Barat.
Bagi Anda yang penasaran ingin melihat langsung desain arsitektur dari bangunan tersebut dapat mengunjungi kampus ITB di Jalan Ganesha 10, Bandung, Jawa Barat.
Dan menariknya lagi, terdapat sejumlah perbedaan pendapat diantara para pemerhati arsitektur terhadap desain atap bangunan kedua aula ITB tersebut. Pendapat pertama menyebutkan bahwa bentuk bagian atap Aula Timur dan Barat ITB mirip dengan Rumah Betang yaitu rumah adat Provinsi Kalimantan Tengah. Sementara ada juga yang menyatakan bahwa bentuk atapnya meniru rumah Kampung Papandak. Prof Ir van Romondt, guru besar arsitektur ITB berpendapat bahwa atap bangunan mirip dengan rumah adat Batak Karo. Pendapat lain dilontarkan oleh Soewarno Darsopajitno, mantan Kepala Museum Geologi Bandung, dimana ia menyatakan bahwa bangunan aula tersebut merupakan modernisasi dari bentuk rumah adat Sunda, Julang Ngapak. Sedangkan pendapat yang paling umum beredar adalah bahwa bentuk atap menyerupai bentuk dasar atap Rumah Minangkabau, Sumatera Barat.
Bagi Anda yang penasaran ingin melihat langsung desain arsitektur dari bangunan tersebut dapat mengunjungi kampus ITB di Jalan Ganesha 10, Bandung, Jawa Barat.