Roda
kehidupan manusia tidak ada yang dapat memprediksi apakah bakal berjalan atau bergulir dengan
lancar tanpa hambatan ataukah tidak. Jika sebelumnya Soekarno dan Inggit hanya menghadapi
masalah yang tidak terkait jalinan percintaan mereka berdua, kali ini cobaan jenis percintaan itu datang manakala mereka dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur, ke Bengkulu.
Peristiwa
munculnya benih-benih cinta dan kasih sayang diantara 2 (dua) insan manusia yang
pernah dialami Soekarno muda saat masih menjadi anak kost Inggit Garnasih dan
Haji Sanusi di Bandung, kini terulang kembali di Bengkulu, tempat pembuangan
kedua Soekarno setelah dikeluarkan dari Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di
kota inilah cinta Inggit yang nyaris “sempurna” kepada Soekarno harus mulai
dinodai oleh percik-percik perselisihan.
Pada
saat awal dipindahkan ke Bengkulu, usia Soekarno saat itu mencapai 37 (tiga
puluh tujuh) tahun, sedangkan Inggit Garnasih sudah menginjak usia lebih tua lagi
yaitu 50 (lima puluh) tahun. Sejauh itu belum ada tanda-tanda Inggit akan
melahirkan keturunan dari “Putra Sang Fajar” itu. Padahal kepastian akan adanya
generasi penerus menjadi sangat penting sebagai upaya untuk menyiapkan tongkat
estafet perjuangan calon pemimpin besar Bangsa Indonesia itu. Kenyataan bahwa
Inggit ternyata tidak dapat memberikan anak bagi Soekarno menjadi semacam beban
berat yang harus disandangnya. Tak dinyana bahwa setelah setia menemani
Soekarno selama 15 (lima belas) tahun yaitu sejak menikah di tahun 1923 sampai
dengan 1938, biduk rumah tangga mereka harus mulai diselingi dengan
percik-percik perselisihan akibat hadirnya orang ketiga. Menariknya, apa yang
dulu dialami Oetari
binti HOS Tjokroaminoto, kini harus dialami pula oleh Inggit Garnasih !.
Kisahnya
bermula ketika pada bulan Agustus 1938, Soekarno yang sudah tiba di Bengkulu,
berjumpa untuk pertama kali dengan Fatmawati, anak gadis dari seorang tokoh
Muhammadiyah Bengkulu bernama Hassan Din. Fatmawati yang memiliki nama asli
Fatimah (lahir pada tanggal 5 Februari 1923) akhirnya tinggal di sebuah rumah
panggung kayu yang tidak jauh dari rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu.
Dengan demikian, usia Fatmawati saat bertemu pertama kali dengan Soekarno baru
15 (lima belas) tahun. Saat pertemuan itulah tampaknya kecantikan Fatmawati
memikat Soekarno. Ibarat pepatah, “dari mata turun ke hati”, Soekarno terjerat
oleh cinta pada pandangan pertama !.
Karena
usia Fatmawati kala itu setara dengan usia Ratna Djuami, anak angkat
Soekarno-Inggit) maka mereka berdua cepat sekali akrab. Mereka ingin bersekolah
bersama di satu sekolah. Soekarno lalu menawarkan Fatmawati untuk bersekolah di
Rooms Katholik Valkschool bersama
Ratna Djuami. Akhirnya Fatmawati pun menerima tawaran itu dan selanjutnya ia
diterima sebagai “anggota baru” keluarga Soekarno.
Benih-benih
rasa suka Soekarno kepada gadis belia bernama Fatmawati itu dapat terbaca
dengan tepat oleh Inggit Garnasih yang masih berstatus sebagai istri sah
Soekarno. Sebagai wanita yang memasuki usia matang tentu saja kepekaan Inggit
terhadap hal demikian sudah terasah. Saat ditanyakan ke Soekarno pada sebuah
kesempatan, Soekarno masih membantah. Namun situasi yang sudah dianalisa dan
dibaca oleh Inggit membuat hal tersebut sulit untuk dibuktikan
ketidakbenarannya. Hubungan antara Soekarno dan Inggit mulai kelihatan kikuk
dan rikuh. Hal itu diperparah dengan kenyataan bahwa selama 15 (lima belas)
tahun mengarungi bahtera rumah tangga, Inggit tak kunjung dapat memberikan buah
hati kepada Soekarno. Akibat rasa tertekan akan ketidakhadiran seorang anak,
Soekarno akhirnya meminta kepada Inggit untuk mencarikan wanita lain yang
sekiranya cocok di mata Inggit, untuk dijadikan isteri kedua Soekarno.
Permintaan ini tentu saja ditolak Inggit karena ia tidak mau dipoligami.
Meski
rumah tangga Soekarno-Inggit mulai menegang namun keduanya masih tetap berusaha
meneruskan biduk rumah tangganya. Keadaan tambah berat ketika Ratna Djuami
harus kembali ke Jawa untuk meneruskan sekolahnya sehingga suasana rumah makin
sepi. Di saat itu, Soekarno memandang Fatmawati adalah satu-satunya sosok untuk
menghibur dirinya.
“Pertahanan”
Soekarno runtuh manakala suatu ketika Fatmawati mendatanginya guna meminta
saran tentang rencana dirinya yang akan dipinang oleh seorang anak wedana.
Bukannya memberikan saran namun Soekarno justru memanfaatkan momen itu untuk
menyatakan cintanya kepada Fatmawati. Mendengar pernyataan itu, Fatmawati terlihat
bingung. Ia tahu bahwa Soekarno sudah berkeluarga. Namun sepertinya bukan Bung
Karno jika gagal dalam menaklukan hati wanita. Mendengar “jurus-jurus maut”
yang dilontarkan Soekarno, hati Fatmawati mulai bergeming. Ia kemudian
melaporkan hal ini kepada ayahnya, Hassan Din. Sang ayah menyatakan keberatan
jika Soekarno meminang Fatmawati dalam statusnya yang masih beristri.
Situasi pelik ini berusaha diatasi oleh Soekarno dengan meminta waktu 6 (enam) bulan untuk menyelesaikan terlebih dahulu biduk rumah tangganya bersama Inggit. Namun setelah lewat 6 (enam) bulan, tidak ada kabar dari Soekarno. Sampai kemudian Hindia Belanda kedatangan tentara Jepang pada awal tahun 1942 sehingga Soekarno harus kembali ke Jawa. Meski begitu, kedua insan manusia itu tetap menjalin komunikasi. Saat menjalani “LDR” itulah justru Fatmawati mulai benar-benar merasakan jatuh cinta (fall in love) ke Soekarno !.
Situasi pelik ini berusaha diatasi oleh Soekarno dengan meminta waktu 6 (enam) bulan untuk menyelesaikan terlebih dahulu biduk rumah tangganya bersama Inggit. Namun setelah lewat 6 (enam) bulan, tidak ada kabar dari Soekarno. Sampai kemudian Hindia Belanda kedatangan tentara Jepang pada awal tahun 1942 sehingga Soekarno harus kembali ke Jawa. Meski begitu, kedua insan manusia itu tetap menjalin komunikasi. Saat menjalani “LDR” itulah justru Fatmawati mulai benar-benar merasakan jatuh cinta (fall in love) ke Soekarno !.