Diantara
9 (sembilan) isteri Soekarno, Inggit Garnasih mungkin satu-satunya profil
seorang pendamping suami yang memiliki sifat dan karakter terlengkap yang dibutuhkan
bagi seorang pria yaitu tidak hanya bertindak sebagai isteri namun juga ibu dan
teman bagi pasangannya.
Hal
di atas sudah teruji saat Inggit Garnasih mampu menjadi partner Soekarno dalam
menapaki kehidupan rumah tangganya yang membutuhkan dukungan ekonomi yang kuat.
Disamping itu, Inggit telah berjasa pula menjadi teman berdiskusi bagi Soekarno
dalam menjalani aktivitas pergerakan politiknya. Perumpamannya, api ada dalam
diri Soekarno, sedangkan kayu bakarnya berasal dari Inggit Garnasih.
Kesetiaan
Inggit dalam mengarungi lika-liku kehidupan bersama Soekarno diuji kembali saat
Soekarno ditangkap kembali oleh pemerintah kolonial Belanda pasca pidato
politiknya di Tegalega, Bandung. Versi lain menyatakan bahwa ditangkapnya
Soekarno karena telah mengadakan pertemuan politik di rumah Muhammad Husni
Thamrin di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1933. Ia langsung ditangkap setelah
keluar dari rumah MH Thamrin tersebut lalu berdasarkan keputusan Gubernur
Jenderal Pemerintah Kolonial Hindia Belanda waktu itu, De Jonge, dikeluarkanlah
surat keputusan untuk mengasingkan Soekarno ke luar Pulau Jawa.
Akibatnya,
ia harus menjalani masa pembuangan periode pertama ke Ende, Flores, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Pemerintah Belanda sendiri sengaja membuang Soekarno ke tempat
yang jauh dengan tujuan untuk memutus hubungan komunikasi dengan para pendukung
dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Untuk
sampai ke tujuan di Ende diperlukan waktu 8 (delapan) hari perjalanan dengan
menggunakan transportasi kapal laut (KM van Riebeeck). Ia tiba di sana pada
tanggal 14 Januari 1934 dan harus menjalani masa pengasingannya selama 4
(empat) tahun yaitu dari tahun 1934 sd 1938. Soekarno saat itu ditemani oleh
Inggit Garnasih, Amsi (ibu mertua Soekarno alias ibunda Inggit Garnasih), dan Ratna
Djuami (anak angkat pasangan Soekarno-Inggit). Turut serta pula 2 (dua)
pembantu mereka yang bernama Muhasan dan Karmini. Selanjutnya mereka juga
mengangkat lagi seorang anak angkat yang diberi nama Kartika.
Karena
diasingkan di sebuah tempat yang jauh dari pusat pergerakan kemerdekaan yang
berbasis di Pulau Jawa maka praktis Soekarno tidak dapat berbuat banyak di
Ende. Ia hanya berupaya untuk mengusir rasa bosan dengan mengisi hari-harinya
dengan beberapa kesibukan, diantaranya dengan mendirikan group sandiwara tonil
bernama Klub Tonil Kalimoetoe (diambil dari nama danau yang tidak terlalu jauh
dari Ende). Ia yang membuat naskah cerita dan menjadi sutradara, sedangkan
dekorasi panggung diserahkan kepada Inggit dan Ratna Djuami.
Cobaan
hidup yang berat harus dihadapi Inggit dan Soekarno ketika Amsi (ibu mertua
Soekarno atau ibunda Inggit Garnasih) meninggal dunia. Ibu Amsi dari sejak awal
pernikahan Soekarno dan Inggit telah memberikan restu atau dukungan yang besar
bagi keduanya. Lalu Ibu Amsi juga rela menemani Inggit dan Soekarno untuk
berangkat menuju tempat pengasingan di kota ini. Namun takdir berkata lain.
Pada tanggal 12 Oktober 1935, Ibu Amsi meninggal dunia karena serangan malaria.
Ia telah rela meninggalkan Kota Bandung yang nyaman untuk mengarungi berbagai
kesulitan hidup yang harus dialami pasangan Inggit dan Soekarno di pengasingan.
Soekarno tentu mengalami pukulan yang hebat ketika harus ditinggalkan ibu
mertuanya itu. Dengan ditandu oleh kedua tangannya sendiri, Soekarno ikut
menghantarkan jenazah Ibu Amsi ke pembaringan terakhir.
Di
kota ini pula, Soekarno juga ikut terkena penyakit malaria seperti yang dialami
ibu mertuanya yang hampir membuatnya menyusul kepergian ibu mertuanya itu ke
alam baka. Kondisi fisik dan psikisnya saat itu sangat lemah. Ia seringkali
berkeluh kesah kepada Inggit yang tidak hanya berposisi sebagai isteri namun
juga “ibu” dan “kawan” dalam berdiskusi. Bahkan saking tidak kuatnya menerima kenyataan
pahit selama di Ende, Soekarno sempat ingin membuat taktik untuk berpura-pura
“bekerja sama” dengan pemerintah Belanda agar ia bisa dikembalikan lagi ke
tanah Jawa. Namun ide tersebut ditolak mentah-mentah oleh Inggit, “Kus, kamu ini bagaimana ?. Baru mendapatkan
ujian sekecil ini sudah membuatmu tak kuat, bagaimana jika nanti engkau menjadi
pemimpin ?. Percayalah, ini bukan untuk selamanya. Tak lama lagi kita pasti
akan keluar dari pulau terpencil ini. Nggit yakin, sebab Tuhan tak akan
terus-menerus menguji hamba-Nya. Dia masih sayang kepada kita. Percayalah !”.
Dari sinilah semangat Soekarno mulai membara kembali.
Akibat
serangan malaria yang hampir membuat Soekarno kehilangan nyawa, MH Thamrin yang
mendengar kondisi Soekarno itu lalu mengajukan protes kepada Volksraad agar
Soekarno dapat dipindahkan atau dikeluarkan dari Ende. Protes tersebut akhirnya
disetujui dimana Soekarno dan keluarganya kemudian dipindahkan dari Ende ke
sebuah kota di Pulau Sumatera yaitu Bengkulu. Ia menjalani masa pengasingan di
Ende selama 4 (empat) tahun yaitu dari 1934 sampai dengan 1938.
Fragmen atau cerita kehidupan Soekarno dan Inggit kemudian bergulir di bumi rafflesia yang makin tidak mudah dilalui oleh keduanya. Bahkan benih-benih mala petaka mahligai kehidupan rumah tangga Inggit dan Soekarno sesungguhnya berawal dari kota ini !.
Fragmen atau cerita kehidupan Soekarno dan Inggit kemudian bergulir di bumi rafflesia yang makin tidak mudah dilalui oleh keduanya. Bahkan benih-benih mala petaka mahligai kehidupan rumah tangga Inggit dan Soekarno sesungguhnya berawal dari kota ini !.