Setelah
pernikahan Soekarno dan Inggit Garnasih terlaksana pada tanggal 24 Maret 1923,
dimulailah kisah baru perjalanan bahtera rumah tangga mereka berdua.
Untuk
memudahkan pendalaman kisah pernikahan mereka, saya akan bagi menjadi 2 (dua)
bagian yaitu bagian pertama yang mengisahkan perjalanan kehidupan rumah tangga
mereka sebelum masa pengasingan, dan bagian kedua yang akan menceritakan
lika-liku kehidupan keduanya selama masa pengasingan.
Ketika
Soekarno menikahi Inggit, praktis hanya berselang 2 (dua) tahun sejak pertama
kali Soekarno menjejakkan kakinya di kampus Technische
Hoogeschool (sekarang ITB). Artinya ia tidak perlu menunggu sampai
kuliahnya selesai sebelum menyunting Inggit sebagai isterinya. Konsekuensinya
Soekarno belum dapat memberikan nafkah lahir yang cukup untuk isterinya itu. Sehingga
Inggit sendiri harus bekerja keras untuk membiayai kehidupan rumah tangga
mereka berdua.
Pada
galeri foto yang terpampang di Rumah
Bersejarah Inggit Garnasih dijelaskan bahwa ia membantu ekonomi suaminya
dengan membuat dan menjual bedak serta jamu yang diproduksi dengan cara
tradisional yaitu menggunakan campuran beras serta ramuan lainnya melalui
penggilingan manual dengan tenaga tangan di atas batu pipisan. Produk bedak dan
jamu yang dihasilkan Inggit diberi merk “Kansai dan Ningrum” yang dijual
melalui warung-warung dan para penjual pengecer.
Inggit
juga memiliki kemampuan membuat obat-obatan yang berasal dari ilmu
turun-temurun dari warisan kedua orang tuanya di Banjaran dan gurunya di
Cirebon, plus ditambah ilmunya yang diperoleh dari kerabat Soekarno di Jawa
Timur. Ayah angkat Soekarno di Ndalem Pojok, Kediri, Jawa Timur yang bernama RM
Soemosewojo adalah salah seorang yang mengajari Inggit tentang ilmu
obat-obatan. Selain itu Inggit pun berjualan tembakau yang ia racik sendiri
melalui ketrampilan tangannya sendiri yang diberi nama “Ratna Djuami” yang diambil
dari nama anak angkatnya. Sehingga tak pelak lagi bahwa batu pipisan itu
merupakan saksi bisu perjuangan Inggit dalam membantu ekonomi keluarganya
selama mengawali kehidupan ruamh tangganya bersama Soekarno yang statusnya
masih sebagai mahasiswa yang belum bisa mandiri secara penghasilan. Apalagi
ditambah dengan kesibukan Soekarno menjadi aktivis pergerakan sehingga tidak
ada waktu lagi bagi Soekarno untuk dapat mencari penghasilan tambahan.
Inggitlah yang dominan menjadi tulang punggung keluarga.
Inggit
pulalah yang ikut mendampingi Soekarno saat ia melakukan “safari politik” dan
berpidato ke berbagai tempat. Inggit juga menjadi “penerjemah” kepada
masyarakat Sunda saat suaminya itu memberikan “kursus politik”. Rumah mereka
yang berada di Jalan Ciateul No 8 (sekarang Jalan Inggit Garnasih No 174)
Bandung menjadi saksi sejarah dimana tempat tersebut sering dijadikan sebagai
tempat berdiskusi bagi Soekarno dan kawan-kawan seperjuangannya.
Inggit
menjadi saksi penting atas terbentuknya Algemenee
Studieclub yang menjadi cikal bakal berdirinya PNI (Partai Nasional
Indonesia) pada tanggal 4 Juli 1927 (waktu itu Soekarno telah menyelesaikan
pendidikannya di Technische Hoogeschool).
Inggit juga ikut menyaksikan rapat para pemuda yang akhirnya mencetuskan Sumpah
Pemuda 1928.
Pada
saat Inggit dan Soekarno melakukan perjalanan ke Yogyakarta, Soekarno ditangkap
setelah melakukan rapat akbar di bulan Desember 1929 yang membuat pemerintah
kolonial Belanda merasa gerah. Ia lalu dijebloskan ke Penjara Banceuy pada tanggal
30 Desember 1929 bersama 3 (tiga) kawan seperjuangannya di PNI yaitu Gatot
Mangkoepradja, Soepriadinata, dan Maskoen Soemadiredja.
Dengan
setia, Inggit mengirimkan makanan dan menyelundupkan buku-buku ke dalam
penjara. Hasil jerih payah Inggit itu membuat Soekarno membacakan pembelaan (pledoi) di depan majelis hakim di Gedung
Landraad berjudul “Indonesia Menggugat” pada tanggal 1 Desember 1930. Pembelaan
ini membuahkan hasil dimana Soekarno yang seharusnya mendapatkan vonis hukuman penjara
selama 4 (empat) kemudian dikurangi setengahnya hingga hanya menjalani selama 2
(dua) tahun : 1 (satu) tahun pertama di Penjara Banceuy dan 1 (satu) tahun berikutnya
di Penjara Sukamiskin. Ia dinyatakan bebas pada tanggal 31 Desember 1931.
Setelah bebas dari penjara, selang 1 (satu) tahun setelah itu, pidato Soekarno di Tegalega, Bandung, membuat “ulah” kembali yang membuat resah pemerintah Belanda sehingga ia kemudian ditangkap lagi untuk kemudian diasingkan ke sebuah kota di luar Pulau Jawa yaitu Ende, Flores. Maka berakhirlah masa kehidupan Soekarno di Kota Bandung sebelum memulai cerita kehidupan barunya selama di pengasingan bersama Inggit Garnasih.
Setelah bebas dari penjara, selang 1 (satu) tahun setelah itu, pidato Soekarno di Tegalega, Bandung, membuat “ulah” kembali yang membuat resah pemerintah Belanda sehingga ia kemudian ditangkap lagi untuk kemudian diasingkan ke sebuah kota di luar Pulau Jawa yaitu Ende, Flores. Maka berakhirlah masa kehidupan Soekarno di Kota Bandung sebelum memulai cerita kehidupan barunya selama di pengasingan bersama Inggit Garnasih.