Poligami
dipastikan akan selalu menjadi masalah yang menimbulkan polemik dari sejak
dahulu kala sampai hari kiamat nanti. Banyak pihak yang mengambil sikap kontra di
satu sisi dan banyak pula yang mengambil sikap pro, meski dalam kasus Soekarno, terjadi inkonsistensi antara pendapat presiden pertama RI itu dengan kenyataan
yang ia alami.
Soekarno
sendiri pada awal-awal menjalani masa pergerakan kemerdekaan adalah termasuk
tokoh yang gigih menentang praktek poligami. Sebagai aktivis PNI (Partai
Nasional Indonesia), Soekarno berdebat keras dengan tokoh-tokoh aktivis Islam
diantaranya Mohammad Natsir yang waktu itu merupakan aktivis JIB (Jong Islamieten Bond). Mereka saling
berargumentasi dalam sebuah forum pertemuan perkumpulan wanita yang membahas
peran perempuan pada tanggal 13 Oktober 1928 (note : berarti waktu itu Soekarno
masih beristerikan satu orang yaitu Inggit Garnasih).
Soekarno
yang menganut faham nasionalis-sekuler menyatakan bahwa praktek poligami telah
menjadikan rendah posisi perempuan. Sementara M Natsir sebagai penganut politik
berhaluan Islam memiliki pendapat yang berpihak pada dibolehkannya poligami.
Pendapat Natsir ini didukung oleh organisasi perempuan Islam diantaranya
Aisyiyah dimana Siti Moentidjah pada Kongres Perempuan Indonesia menyatakan bahwa
meskipun organisasi ortonom Muhammadiyah itu tidak menganjurkan poligami namun
di waktu yang sama menolak penghapusan pembolehan poligami dalam syariat Islam.
Perjalanan waktu kemudian meninggalkan forum debat tersebut tanpa adanya konklusi atau kesepakatan bersama. Bahkan yang terjadi justru muncul inkonsistensi antara ucapan dan tindakan manakala Soekarno yang awalnya menjadi orang yang getol menolak poligami malah mempraktekkan poligami secara membabi-buta tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sementara Mohammad Natsir yang bukan penentang poligami, sampai akhir hayatnya justru setia dengan hanya beristerikan satu orang saja.
Perjalanan waktu kemudian meninggalkan forum debat tersebut tanpa adanya konklusi atau kesepakatan bersama. Bahkan yang terjadi justru muncul inkonsistensi antara ucapan dan tindakan manakala Soekarno yang awalnya menjadi orang yang getol menolak poligami malah mempraktekkan poligami secara membabi-buta tanpa memperhatikan syarat-syarat yang harus terpenuhi. Sementara Mohammad Natsir yang bukan penentang poligami, sampai akhir hayatnya justru setia dengan hanya beristerikan satu orang saja.