Dari
pernikahan Soekarno dengan 9 (sembilan) isterinya, 6 (enam) diantaranya harus
berakhir dengan perceraian. Salah satunya adalah perceraian dirinya dengan
Inggit Garnasih.
Kisah
tragis putusnya hubungan pernikahan Inggit dan Soekarno berawal dari pertemuan
Soekarno dengan Fatmawati di Bengkulu saat menjalani masa pengasingan keduanya
setelah dikeluarkan dari Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Akar
masalah dari semua ini sepertinya berawal dari tindakan Soekarno yang terlalu
cepat mengambil keputusan saat menceraikan isteri pertamanya, Oetari
binti HOS Tjokroaminoto hanya karena merasa bahwa pribadi Inggit Garnasih
jauh lebih sempurna dibanding Oetari. Bahkan Soekarno sendiri mengabaikan
faktor perbedaan usia yang terlalu tajam antara dirinya dengan Inggit yang
kemudian menjadi semacam “senjata makan tuan”. Seolah Soekarno harus menelan
ludahnya sendiri manakala ia bertemu dengan seorang gadis belia bernama Fatimah
di Bengkulu.
Kisah
percintaan Soekarno dan Inggit yang sudah berada di ujung tanduk terjadi saat
bala tentara Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Dengan menggunakan
sebuah kapal kecil, Soekarno tiba di Jawa dan disambut oleh kawan-kawan
seperjuangannya, termasuk Mohammad Hatta. Sesampainya di Jakarta, ia kemudian
menempati sebuah rumah di Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta.
Soekarno
saat itu harus berpikir keras bagaimana caranya agar ia dapat menikahi
Fatmawati tanpa harus meninggalkan Inggit Garnasih. Upaya untuk tetap
mempertahankan Inggit pada akhirnya tidak dapat terwujud karena Inggit secara
tegas menyatakan tidak ingin dipoligami. Sehingga pada tanggal 29 Januari 1943,
Soekarno menjatuhkan talak cerai kepada Inggit dimana surat perjanjian
perceraian dibuat dan ditandatangani di rumah
Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta. Pembuatan surat cerai tersebut merupakan
gagasan dari sejumlah tokoh pergerakan nasional yaitu Mohammad Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, dan KH Mas Mansoer. Dapat disimpulkan bahwa rumah tangga Soekarno
dan Inggit mampu bertahan dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun meski kemudian
harus kandas di tengah jalan.
Pasca
diceraikan Soekarno, Inggit kembali ke Kota Bandung dimana sesuai bunyi surat
perceraiannya disebutkan bahwa Soekarno wajib menyediakan rumah bagi Inggit
Garnasih di kota kembang tersebut. Disamping itu, Soekarno diharuskan membayar
utangnya kepada Inggit yang dibayarkan secara angsuran. Begitu juga kewajiban
Soekarno guna memberikan nafkah uang kepada Inggit seumur hidup yang ditunaikan
secara bulanan.
Dari
beberapa kewajiban di atas, yang tidak sempat terwujud adalah membelikan rumah
untuk Inggit karena ijin membeli rumah dari pemerintah Dai Nippon tidak juga
diperoleh. Akhirnya diputuskan Soekarno mencarikan rumah sewa atau kontrakan
untuk dapat ditempati Inggit. Diketahui kemudian bahwa Inggit Garnasih
menempati rumah Haji Anda di Jalan Lengkong Besar, Bandung. Di sana sudah
menunggu Haji Sanusi, Muntarsih, dan beberapa kerabat.
Setelah
sekian lama tinggal di rumah Haji Anda, selanjutnya Inggit Garnasih ingin
memiliki rumah sendiri. Atas inisiatif Asmara Hadi, Winoto, Supardi, SK
Trimurti, Gatot Mangkoepradja, AM Hanafi, dan lain-lain, terkumpullah sejumlah
dana untuk membelikan rumah bagi Inggit. Qodarullah,
rumah yang berhasil dibeli adalah rumah yang dulunya pernah ditinggali Inggit
dan Soekarno saat mereka berdua awal melangsungkan kehidupan rumah tangga di
Kota Bandung (saat ini menjadi situs sejarah di Kota Bandung bernama Rumah
Bersejarah Inggit Garnasih).
Di
rumah inilah Inggit menapaki hari-hari tuanya untuk merajut jalan kehidupannya
sendiri yang jauh dari hiruk pikuk suasana pergerakan kebangsaan karena sudah
tidak berada di samping Soekarno. Ia telah kembali menjadi orang biasa yang
merdeka dalam menempuh jalan kehidupannya sendiri.
Setelah
menjalani masa perceraian selama 17 (tujuh belas) tahun, pada tahun 1960,
Presiden Soekarno yang tengah berada di puncak kekuasaan mengunjungi Inggit
yang saat itu telah memasuki usia 72 (tujuh puluh dua) tahun. Sebuah pertemuan
yang bersejarah dan penuh dengan kesedihan. Di saat itulah, Presiden Soekarno
meminta maaf atas perlakuannya yang menyakiti hati Inggit. Namun jawaban Inggit
luar biasa, “Tidak usah meminta maaf, Ngkus
(panggilan untuk Soekarno). Pimpinlah negara ini dengan baik seperti cita-cita
kita dahulu di rumah ini”. Sebuah jawaban yang sulit dijangkau nalar
mengingat ia harus mengalami kenyataan pahit meski telah mengarungi kehidupan
bersama Soekarno selama 20 (dua puluh) tahun. Bahkan saat Soekarno mengembuskan
nafas terakhirnya pada tanggal 21 Juni 1970, Inggit bersedia menengok jasad
Soekarno di Wisma Yaso, Jakarta. Dengan kondisi tubuhnya yang sudah renta, ia
harus melakukan perjalanan melelahkan dari Bandung ke Jakarta dengan diantar
oleh Ratna Djuami. Ketika berdiri di samping jenazah yang sudah terbujur kaku
itu, Inggit hanya berucap diiringi isak tangis yang sedikit tertahan, “Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit
doakan”. Inggit telah lama memaafkan Soekarno sebelum Soekarno
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Kehebatan
dan kebesaran jiwa Inggit ditunjukkan kembali saat berkeinginan untuk bertemu
dengan Fatmawati, seseorang yang telah “merebut hati” suaminya sehingga harus
terjadi perceraian antara dirinya dengan Soekarno. Atas prakarsa Ali Sadikin,
pertemuan yang sangat mengharukan itu terjadi pada tanggal 7 Februari 1984.
Keduanya saling berpelukan. Sambil menangis, Fatmawati meminta maaf, dan dengan
ketulusan yang luar biasa, Inggit mau memaafkan Fatmawati.
Kurang
lebih 2 (dua) bulan setelah pertemuannya dengan Fatmawati di atas, Inggit
Garnasih menyusul Soekarno pergi ke alam baka. Ia meninggal dunia pada tanggal
13 April 1984 dalam usia 96 (sembilan puluh enam) tahun. Jenazahnya dimakamkan
di Pemakaman Umum Porrib di Jalan Makam Caringin, Kopo, Bandung.
Dengan meninggalnya Inggit, sejarah telah mencatat bahwa ia telah selesai menunaikan tugasnya untuk menghantarkan Soekarno sebagai pemimpin dan bapak bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Selamat jalan Inggit Garnasih !.
Dengan meninggalnya Inggit, sejarah telah mencatat bahwa ia telah selesai menunaikan tugasnya untuk menghantarkan Soekarno sebagai pemimpin dan bapak bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Selamat jalan Inggit Garnasih !.