Menembus
kampus favorit setenar Institut Teknologi Bandung (ITB) bagi anak desa yang
jauh dari perkotaan tentu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri pada saat itu.
Di
jaman tahun 1990-an, lulusan SMA yang mampu melanjutkan pendidikan tinggi
negeri boleh dikatakan beruntung. Hal ini dikarenakan biaya pendidikan di
universitas negeri saat itu masih terjangkau oleh masyarakat secara umum.
Berbeda dengan pendidikan swasta (sering disebut universitas partikelir) yang
membutuhkan biaya yang lebih tinggi sehingga dapat memberatkan orang tua
mahasiswa.
Tak
terasa, sudah hampir 20 (dua puluh) tahun, saya meninggalkan kampus yang penuh
dengan lika-liku perjalanan pendidikan dengan segala kesulitan yang dihadapi
kala itu. Datang dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah dengan background kondisi keuangan keluarga
yang biasa-biasa saja menjadikan gaya hidup selama menempuh pendidikan tinggi
di kota kembang harus benar-benar ditata dengan baik. Jika tidak dapat mengelola
atau me-manage diri dengan benar,
statusnya sebagai mahasiswa aktif dapat terancam dengan serius. Waktu itu bukan
hal aneh jika mendengar adanya sejumlah mahasiswa yang terpaksa harus mengalami
DO (Drop Out) alias terhenti kuliahnya
di tengah jalan karena kegagalan dalam mengelola kehidupannya baik kehidupan di
kampus maupun kehidupan pribadinya.
Maka
ketika datang kesempatan mengunjungi kota yang juga dijuluki sebagai Paris van Java ini dalam rangkaian program Bandung Explorer, saya berusaha
menyambangi kampus almamater tercinta ini dimana selama kurang lebih 6 (enam) tahun
harus ‘berjibaku’ dengan berbagai kesulitan, masalah, dan kerumitan yang
dihadapi.
Begitu
menjejakkan kaki di pintu masuk kampus, aroma serius dan ilmiah anak-anak kuliah terasa kental. Berbagai sudut kampus yang dulu sering dilalui
oleh jejak kaki seakan memberi sapaan 'selamat datang kembali ke kampus harapan'. Meskipun kondisi bangunan
dan lingkungan di sekitarnya banyak yang sudah berubah namun masih terdapat sejumlah
tempat yang kondisinya sama dengan kondisi saat 20 (dua puluh) tahun yang
lalu saya menimba ilmu di sini.
Di
kampus yang juga merupakan tempat dimana Soekarno meraih pendidikan tingginya
ini tergores sejarah kehidupan yang menghiasi sebagian perjalanan hidup para
mahasiswa yang pernah mengenyam pendidikannya di sini. Lebih bagus lagi jika
alumnus dapat mengunjunginya bersama dengan anak-anak agar dapat men-share dan menceritakan
kisah perjuangan selama mengejar cita-cita pendidikan sampai selesai, sehingga energi dan
spirit yang dulu pernah diperjuangkan dapat ditransfer atau diteruskan kepada
generasi penerusnya.
Maka
tidak ada salahnya jika Anda yang pernah menempuh pendidikan (di kampus manapun dan di level apapun)
untuk mencoba sekali waktu menengok atau melakukan napak tilas dalam rangka mengingat sejarah masa silam selama menempuh pendidikan di almamaternya
masing-masing.
Mentari menyala di sini
Di sini di dalam hatiku
Gemuruh apinya di sini
Di sini di urat darahku
Meskipun tembok yang tinggi mengurungku
Berlapis pagar duri sekitarku
Tak satupun yang mampu menghalangiku
Bernyala di dalam hatiku
Hari ini hari milikku
Juga esok masih terbentang