Selain
Tebing Keraton, terdapat point of
interest lain yang dapat Anda nikmati di Kompleks Taman Hutan Raya (Tahura)
Ir H Djuanda, Bandung, Jawa Barat. Salah satunya adalah situs bersejarah bernama
Goa Belanda.
Goa Belanda yang terletak kurang lebih 1 (satu) kilometer dari Pintu Gerbang Utama Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Djuanda bukanlah goa alami namun dibuat dan dibangun pada tahun 1912 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pada mulanya goa ini merupakan sebuah kanal terowongan air sadapan Sungai Cikapundung yang digunakan oleh PLTA di bawah pengelolaan perusahaan listrik bernama Bandoengsche Electriciteit Maatschappij. Dari PLTA ini kemudian air disalurkan ke PLTA lain bernama PLTA Bengkok yang dikelola oleh Gemeenschapelijk Electriciteit Bedrijf Voor Bandoeng en Omstreken guna memenuhi kebutuhan listrik bagi penduduk Bandung yang saat itu jumlahnya mencapai sekitar 47500 jiwa.
Di dalam goa yang berada dalam satu pengelolaan di bawah manajemen Taman Hutan Raya (tahura) Ir H Djuanda ini terdapat 15 (lima belas) lorong dengan 2 (dua) pintu masuk dan lebar goa 1,8 meter dimana sebelum masa Perang Dunia II dimanfaatkan oleh Belanda sebagai Stasiun Radio Telekomunikasi. Di setiap lorong goa terdapat beberapa fungsi seperti ruang kamar tidur tentara Belanda, ruang interogasi, ruang penjara untuk para tahanan perang.
Pasca kemerdekaan RI, para pejuang memanfaatkan goa ini sebagai tempat penyimpanan mesiu, sampai kemudian saat ini digunakan sebagai salah satu objek wisata di Kompleks Taman Hutan Raya (Tahura) Ir H Djuanda, Bandung.
Jika Anda ingin mencoba menelusuri lorong goa, jangan lupa untuk mebawa senter atau menyalakan lampu handphone karena di dalamnya tidak ada pencahayaan buatan maupun alami. Hawa di dalam yang dingin serta gelapnya goa menjadikan suasananya terlihat cukup menyeramkan. Dan bagi yang takut dengan suasana gelap dan sepi seperti itu di sepanjang lorong goa tidak disarankan untuk masuk ke dalam goa sendirian. Jadi sebaiknya datanglah secara berkelompok guna mengusir rasa takut dan khawatir yang berlebihan.
Kabarnya terdapat mitos yang berkembang dan diyakini kebenarnya oleh sebagian penduduk di sekitarnya dimana pengunjung yang datang tidak boleh mengucapkan atau meneriakkan kata "lada" karena berkaitan dengan seorang tokoh masyarakat jaman dulu yang sangat dihormati yaitu Eyang Lada Wisesa. Apabila pantangan tersebut dilanggar, pengunjung harus siap menerima konsekuensi akan mengalami hal-hal yang aneh dan menyeramkan.