Teori-teori
leadership atau kepemimpinan telah
banyak dikupas dan ditulis oleh para ahli strategic
management dari berbagai belahan dunia, namun teori-teori itu hanyalah
sebatas tulisan di atas kertas. Dunia Islam telah membuktikan sejak dahulu
bahwa para pemimpin Islam lebih mengerti aplikasi yang sebenarnya.
Salah
satu role model leader yang menurut
saya paling hebat dan mengagumkan adalah pola kepemimpinan yang dilakukan oleh
Umar bin Khattab, khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Sebelum
mendapat hidayah, Umar adalah salah satu tokoh non muslim keurunan Bani Quraisy
yang sangat membenci Rasulullah SAW dan dakwahnya. Kebengisan dan kebencian
Umar ditunjukkan dengan salah satu niat kejinya untuk membunuh Rasulullah SAW
sebelum pada akhirnya ia sendiri luluh hatinya setelah membaca lembaran mushaf
Al-Qur’an dari tangan saudara perempuannya yang sudah terlebh dahulu masuk
Islam.
Kelembutan Hati Umar bin Khattab di Balik
Watak Kerasnya
Pasca
masuknya Umar ke dalam cahaya Islam membuat penduduk Mekkah mengalami
kegemparan dahsyat, ibarat terjadi gempa 8 SR yang mengebohkan seluruh negeri.
Hal ini mengingat bahwa Umar adalah seorang yang begitu membenci Islam, mengapa
tiba-tiba ia bisa berubah 180 derajat.
Singkat
kata, manakala khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq meninggal dunia, Umar
ditunjuk sebagai penggantinya. Di masa inilah, Islam tumbuh dengan pesat dimana
beberapa wilayah di luar jazirah Arab seperti Romawi dan Persia. Hal ini
menunjukkan adanya sifat dan karakter kepemimpinan Umar yang tegas dan tidak
takut dengan musuh-musuh Islam.
Namun
ada keunikan di balik ketegasan sikap seorang Umar. Ia ternyata memiliki sifat
lemah lembut dan welas asih kepada rakyatnya. Ada banyak cerita tentang
bagaimana Umar bin Khattab begitu mencintai dan menyayangi rakyatnya, namun
dalam tulisan ini hanya akan saya kupas 3 (tiga) kasus saja yang mencerminkan
kebaikan dan kelembutan hati Umar tersebut.
1.
Kisah
Seorang Ibu Memasak Batu
Kisah klasik ini menjadi
cerita yang sudah banyak diketahui muslim dan muslimah, bahkan sejak kecil pun,
anak-anak madrasah atau SD rata-rata pernah mendengarkan kisah ini.
Suatu ketika, Umar ingin
sekali mengetahui kondisi rakyat yang dipimpinnya. Namun ia tidak melakukan
gaya “blusukan” seperti di era modern ini dimana penduduk yang akan dikunjungi
biasanya diberi tahu dulu akan ada kedatangan pemimpinnya. Umar lebih memilih
blusukan dengan cara diam-diam. Caranya cukup jitu yaitu dengan keluar di malam
hari karena di saat seperti itu tidak mudah bagi rakyat negerinya untuk dapat
melihat wajah pemimpinnya dengan jelas. Dengan demikian Umar dapat lebih
leluasa mengamati gerak-gerik para penduduknya.
Ketika melewati di depan sebuah
rumah yang sederhana, ia mendengar tangisan seorang anak yang setelah didekati
terdapat seorang perempuan tua yang sedang duduk di dekat perapian. Ia tidak
tahu bahwa sang khalifah datang kepadanya dengan membawa pertanyaan, apa yang
terjadi dengannya dan anak perempuannya yang tiada henti menangis. Sang ibu pun
mengatakan bahwa ia hanya bisa memasak batu di dalam panci berisi air dengan
harapan anaknya akan berhenti menangis dan tertidur saat menunggu masakan
“kosong” itu jadi. Mendengar hal tersebut, Umar lantas balik lagi ke istana sambil
meneteskan air mata. Dengan ditemani ajudannya, Umar mengambil dan bahkan
mengendong sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada sang ibu tadi.
Tawaran ajudannya untuk membantu membawakan karung gandum ditolak mentah-mentah
oleh Umar. Ia beralasan bahwa bisa saja sang ajudan menggendong sekarung gandum
itu namun ia tak akan bisa memikul beban Umar di hari pembalasan. Dari sini
kita bisa melihat kerendahan hati Umar. Ia bersedia melakukan apa saja demi
rakyatnya bahagia, dan hebatnya lagi, tindakan itu tidak banyak diketahui
orang. Tidak ada wartawan yang siap memfoto dan menyebarkan berita itu ke
seantero negeri. Umar adalah sosok bersahaja di balik kewibawaannya sebagai
orang nomor satu di negerinya.
2.
Kisah
Umar Menikahkan Anaknya dengan Anak Penjual Susu
Kisah ini juga
mencerminkan kesederhanaan seorang Umar dimana ia tidak memandang seseorang
dari pangkat atau jabatannya, namun dari ketakwaannya kepada Allah SWT.
Diceritakan bahwa di
suatu malam, seperti biasa Umar melakukan ritual berkeliling kota alias blusukan.
Dan seperti biasa, ia memilih malam hari ketika banyak penduduk negeri telah
terlelap dalam tidur.
Ketika Umar merasa lelah
dan harus beristirahat sejenak sambil menyenderkan tubuhnya di sebuah dinding
warga, ia mendengar sayu-sayup perbincangan di sebuah rumah. Saat itu terdengar
suara seorang perempuan yang menyuruh anaknya untuk mencampurkan air ke dalam
susu yang akan dijualnya. Sementara pada pagi hari sebelum malam itu, khalifah
Umar telah memberikan peraturan bahwa pedagang susu dilarang mencampur
dagangannya dengan air.
Ketika sang ibu menyuruh
anak perempuannya mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya, sang anak
pun menolak. Sang ibu berkata, “Bukankah Umar tidak akan mengetahui hal ini ?”.
Jawaban sang anak begitu menakjubkan, “Khalifah Umar mungkin tidak
mengetahuinya, namun sang Rabb pasti mengetahui”.
Singkat cerita, karena
keimanan dan ketakwaan yang luar biasa dari seorang gadis anak penjual susu
itu, mengantarkan sang gadis menjadi menantu Umar bin Khattab !. Ia kemudian
dinikahkan dengan Ashim bin Umar bin Khattab. Dari pernikahan mulia inilah
kemudian lahir generasi Umar berikutnya yang tak kalah populer. Anak perempuan
dari pernikahan Ashim dan gadis penjual susu bernama Laila binti Ashim bin Umar
bin Khattab, yang lalu menikah dengan seorang gubernur Bani Umayyah bernama
Abdul Aziz bin Marwan. Dari sinilah lahir seorang pemimpin besar Islam
berikutnya bernama Umar bin Abdul Aziz bin Marwan.
3.
Kisah
Umar Memfatwakan Batas Waktu Tentara Bertempur di Medan Perang
Kisah selanjutnya juga berawal dari kebiasaan Umar berkeliling
kota guna memastikan tidak ada rakyatnya yang mengalami penderitaan.
Suatu ketika di malam hari, Umar mendengar rintihan seorang
perempuan yang bersenandung dengan untaian syair kerinduan, “Malam ini terasa
panjang, sunyi senyap hitam kelam. Lama tiada aku berkasih mesra untuk bercumbu
dan merayu”. Mendengar lantunan itu, lantas Umar bertanya kepada orang yang
lewat. Siapakah gerangan wanita itu dan mengapa ia merasa begitu kesepian. Dari
cerita yang diperoleh, ternyata wanita itu adalah salah satu istri dari tentara
Islam yang sedang berjuang di medan peperangan.
Selanjutnya, setelah menanyakan kepada putrinya, Hafshah binti
Umar tentang sisi hati perempuan yang ditinggal suaminya, ia kemudian
mengeluarkan fatwa bahwa batas waktu paling lama seorang prajurit Islam di
medan laga adalah 6 (enam) bulan dengan rincian : 1 (satu) bulan untuk
perjalanan berangkat, 4 (empat) bulan di medan peperangan, dan 1 (satu) bulan
lagi untuk perjalanan pulang.
Penutup
Itulah
kehebatan Umar bin Khattab, seorang khalifah Islam yang gagah berani namun
memiliki perhatian yang besar terhadap nasib rakyatnya. Dari pola
kepemimpinannya yang jauh dari kata otoriter membuahkan hasil pada sejumlah
perbaikan yang menakjubkan. Pantas saja ia begitu dicintai rakyatnya, karena ia
memilih mencintai dan memenuhi kebutuhan mereka terlebih dahulu.