Selama
kecil sampai SMA (Sekolah Menengah Atas) atau sebelum meninggalkan kota
kelahiran untuk melanjutkan pendidikan tinggi di lain kota, keberadaan masjid ini
sudah sangat familiar dan cukup melekat dalam kehidupan sehari-hariku dan
terutama bagi penduduk atau warga yang tinggal satu desa denganku.
Nama
masjidnya adalah Masjid Baitul Hikmah yang dari sejak tahun pendiriannya sampai
sekarang telah berusia sekitar 80 (delapan puluh) tahun. Sebuah usia yang cukup
relatif tua. Tentu saja sudah tidak banyak lagi penduduk atau warga desaku yang
masih hidup sampai seusia masjid itu.
Ketika aku berada di kampung halaman dalam rangka liburan Iedul Adha kemarin dan membuka-buka lemari buku, secara tidak
sengaja aku temukan 2 (dua) lembar kertas berukuran folio yang berisi ketikan
mesin ketik jaman dulu. Entah siapa yang melakukan pengetikkan itu, apakah
ayahku atau nama yang tertera pada lembar kedua yang dikenal sebagai imam
masjid sekaligus nadzir Masjid Baitul Hikmah, karena bisa saja orang yang
mengetik dengan berbeda dari nama yang tertulis pada lembaran dimaksud (sama
seperti naskah proklamasi kemerdekaan dimana orang yang mengetik adalah Sayuti
Melik dan bukan Soekarno atau Hatta).
Dari
lembar bersejarah yang diketahui diketik pada tanggal 2 Juni 2001 itu
disebutkan bahwa pada tahun 1938 terdapat seorang sesepuh masyarakat bernama KH
Abdul Ghoni yang mewakafkan sebidang tanah yang terletak di sebuah tanah kosong
yang disebut masyarakat desa kami waktu sebagai Kompleks Rawa Kuda. Maka mulai
tahun 1939 dirintislah pembangunan masjid dengan melakukan pekerjaan awal
berupa pengurugan air rawa yang memiliki kedalaman sekitar 2 (dua) meter seluas
sekitar 100 meter persegi.
Setelah
proses pengurugan selesai, mulailah dilakukan gotong royong dalam pembangunan
fisik bangunan masjid. Waktu itu terdapat sejumlah tokoh yang berperan sebagai
donatur utama diantaranya KH Abdul Ghoni sendiri, KH Abdul Rohim, Kyai
Sanyasir, Kyai Sanwitana, Kyai Sanmungid, Kyai Asroji, Kyai Kartameja, dan
Bapak Sudjiman. Dari angkatan muda muncul nama-nama seperti Pak Naslam (Moh.
Asron), Pak Kusaeri, Pak Hadi Suwiryo, dan Pak Ahmad Suhadi.
Bahan-bahan
atau material pembangunan masjid dihimpun secara bergotong royong dimana tiang
utama (saka guru) dibuat oleh KH
Abdul Ghoni, KH Abdul Rohim, Kyai Sanyasir, dan Kyai Kartameja. Angkatan muda
mengerjakan urugan tanah, usungan pasir, usungan batu kali, dan sebagainya.
Maka
pada tahun 1940 berdirilah masjid tersebut dengan lantai yang masih berupa
semen plester, tiang kayu, dinding bambu, balungan kayu, dan atap seng. Air
wudhu menggunakan suwur biasa dengan memakai senggetan dan padasan bambu.
Pada
tahun 1946 bangunan masjid mengalami perubahan atau renovasi pertama dengan
sponsor KH Ismangil dan KH Abdul Rohim. Lantai masjid yang berupa plester
diganti tegel yang berjumlah 625 biji dimana 500 diantaranya merupakan
sumbangan KH Ismangil dan sisanya dari warga lainnya. Waktu itu masjid tersebut
belum diberi nama dan hanya disebut sebagai Masjid Rawa.
Pada
tahun 1947, masjid mengalami rehab kembali yaitu dibuat dinding dan ditambah
bangunan serambi sehingga luas masjid berubah menjadi 15 x 7 meter.
Pembangunannya disponsori oleh Bapak Hadisuwiryo sebagai Kepala Desa
Karanglewas Kidul beserta tokoh-tokoh desa lainnya. Selanjutnya pada tahun 1952
sumber air untuk wudhu dibeton dan padasan diubah menjadi bak air.
Perubahan
pada struktur pondasi dilakukan pada tahun 1970 dimana ketinggian pondasi yang
semula 40 cm dari tanah, kemudian ditinggikan menjadi 1 meter. Pada waktu itu
proses pembangunannya diketuai oleh Bapak Ahmad Masngudi.
Pada
tahun 1988 dilakukan renovasi agak besar dimana pada waktu itu masjid mendapat
bantuan dari BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) Kabupaten Banyumas yang pada
waktu itu diketuai oleh Bapak H Muflikh Sugito. Ukuran bangunan masjid
diperluas hingga menjadi 18 x 18 meter seperti dalam bentuk saat ini. Biaya
pembangunan diperoleh dari BKM sebesar Rp 36 juta dan Banpres sebesar Rp 15
juta. Saat itulah masjid mulai diberi nama sebagai Masjid Baitul Hikmah.