Sebuah
kisah hikmah ini berasal dari sepasang suami istri yang sudah lama menikah tapi
tak kunjung dikarunia seorang anak. Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita
semua.
Awal-awal
pernikahan dalam kehidupan rumah tangga Bagas dan Dewi sangatlah harmonis, namun
karena tahun demi tahun tak kunjung dikaruniai seorang anak membuat rumah
tangga mereka pada akirnya mulai bergejolak. Orang-orang dan tetangga di
sekitarnya hanya bertanya-tanya, siapa yang salah diantara mereka. Siapa yang sesungguhnya tidak
dapat menurunkan anak, apakah Bagas atau Dewi. Itulah gunjingan para tetangga
yang membuat kehidupan mereka terusik.
Berbagai
ikhtiar sudah dilakukan oleh keduanya namun belum ada tanda-tanda membuahkan
hasil. Lalu diputuskan untuk
memeriksakan ke dokter spesialis kandungan dan berjanji untuk bertawakkal apa pun hasilnya. Maka
setelah dilakukan serangkaian pemerikasaan, dipanggilah mereka secara
bergantian. Pertama, Bagas dulu yang dipanggil ke ruangan sang dokter sementara sang
istri menunggu di luar. Beberapa menit kemudian, sang suami keluar dari ruangan dokter dan
menemui istrinya. Dengan hati yang gundah-gulana Bagas hanya bisa memandang
istrinya dengan menunduk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Lalu giliran kedua, Dewi masuk ke ruangan dokter lalu
bertanya kepadanya sambil menoleh kepada suaminya yang duduk di bangku luar di balik sela-sela kaca jendela ruangan dokter. Sang dokter hanya mengatakan, “Wahai ibu, alhamdulillah engkau sehat-sehat
saja.” “Alhamdulillah”, kata Dewi.
“Bagaimana dengan suamiku ?” tanya Dewi. Dokter
berkata, “Mohon maaf, suamimulah yang
mandul”. Dewi pun lemah lunglai mendengarnya. Ia tak kuasa membendung air mata. Saat keluar ruangan dokter, ia memandang suaminya sambil berkata dengan terbata, “Wahai suamiku, engkau ternyata mandul ???”. Hanya itu yang keluar
dari mulutnya tanpa bisa melanjutkan kata-katanya kembali. Bagas tak bisa berucap banyak dan hanya bisa menunduk, seolah menahan perasaan bersalah yang begitu mendalam.
Meskipun
berusaha sabar namun hati Dewi mulai hancur karena suaminyalah yang dinyatakan mandul
dimana beritanya sudah tersebar di kalangan keluarga dan para tetangga sehingga mereka
berdua selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak mengenakkan. “Alangkah
kasihannya wanita shalihah itu karena mendapat suami yang mandul”, begitu
komentar tetangganya. Tentu hati siapa yang tak kecewa jika mendapati suami-lah
yang mandul. Dewi yang penyabar itu pun kemudian mulai menyalahkan suaminya. Bahkan
ia berani berkata, “Aku sudah tidak tahan
bersuamikan kamu. Aku bertahun-tahun menunggu anak darimu dengan sabar. Namun
aku hanyalah manusia biasa, wahai suamiku. Seandainya aku menikah dengan orang lain mungkin
aku sekarang sudah menimang anak yang lucu. Engkau benar-benar menjadi ujian
bagiku, suamiku !”.
Semakin
hari hati Dewi semakin kecewa kepada Bagas, sampai kemudian Dewi berteriak
kepada suaminya, “Ceraikan aku. Aku sudah
tidak tahan hidup bersamamu !.” Bagas berusaha memberikan pengertian agar istrinya
tetap sabar. Kata Bagas, “Ini ujian dari
Allah. Ingat kisah Nabi Zakaria as. Ia adalah orang yang sudah tua renta namun
mereka masih dapat dikaruniai anak”. Namun Dewi sudah tak dapat
mendengarkan suaminya. “Kenapa engkau tak menceraikanku saja !”, kata Dewi dengan nada tinggi.
Sampai
suatu ketika istrinya diketahui menderita sakit ginjal yang mengharuskannya operasi.
Sang suami berkata, “Wahai istriku, maafkan
aku, aku harus pergi keluar kota untuk urusan kantorku”. Dewi semakin
marah, “Sudahlah mandul, sekarang kau
meninggalkan rumah di saat istrimu ini sakit !”. Namun Bagas tetap harus
pergi menjalankan tugas kantor. Dan pada saat pulang, istrinya telah selesai melaksanakan
operasi ginjal. Ketika suaminya pulang, Dewi berkata, “Ada seseorang yang menyumbangkan ginjal untukku. Ia orang yang sangat
baik meskipun aku belum pernah bertemu dengannya. Sementara engkau ke mana saja
suamiku !?. Di saat aku membutuhkanmu, engkau pergi begitu saja !”. Bagas
berkata, “Maafkan jika aku kemarin
meninggalkanmu. Istriku, maafkan aku. Alhamdulillah engkau sekarang sudah lebih
baik. Aku sangat bahagia”.
Setahun
berjalan Dewi dinyatakan positif hamil yang membuatnya mulai dapat
meninggalkan kesedihannya. Ia pun melahirkan seorang bayi yang lucu. Namun di
sisi lain, giliran kesehatan Bagas yang memburuk. Suaminya pun meminta ijin
untuk keluar kota karena ada tugas dinas kembali. Dan ketika suaminya pergi
keluar kota, Dewi tak sengaja membaca sebuah buku yang ditulis suaminya. Ia
mendapati buku harian suaminya itu. Ia penasaran dengan isinya. Ketika sang
istri membuka lembar demi lembar, tangis Dewi mulai pecah terutama saat membaca
suatu kalimat yang ditulis oleh suaminya, “Pada
hari ini aku sangat sedih karena ternyata dokter mengatakan kepadaku bahwa aku
sehat dan istriku yang mandul. Namun karena rasa cintaku kepada istriku, aku
meminta tolong kepada dokter agar mengatakan bahwa akulah yang mandul. Maka pada hari itu, dokter mengatakan bahwa pada istriku bahwa akulah
yang mandul. Aku sungguh sangat mencintai istriku meski istriku adalah orang yang mandul.
Jika istriku aku ceraikan, apakah ada orang lain yang ingin menikahinya ?”.
Lalu Dewi melanjutkan membaca paragraf selanjutnya, “Pada hari ini istriku divonis gagal ginjal,
maka aku harus mendonorkan ginjalku kepada istriku. Aku ingin berkorban karena aku mencintainya meskipun
akibat bagiku menjadi tidak baik. Aku berikan
ginjalku kepadanya demi membuktikan cintaku kepadanya”.
Selesai
membaca seluruh buku harian Bagas, air mata Dewi berurai semakin deras. Suaminya telah berbohong
demi kebahagiaan dirinya. Dewi begitu menyesal kepada suaminya karena telah
bersikap kasar. Begitu suaminya pulang, ia bersimpuh dan minta maaf atas prasangka
buruk kepada suaminya. “Jangan tinggalkan
aku, suamiku”, kata Dewi lirih dan dengan nada penuh penyesalan. “Kaulah
yang paling aku cintai di dunia ini dan aku berharap dapat bergabung denganmu
di akhirat kelak”.
Penutup
Terkadang dalam perjalanan kehidupan rumah tangga, salah satu pasangan terpaksa harus berbohong demi kebahagiaan pasangannya. Maka jangan terlalu cepat memvonis buruk kepada suami atau istri terhadap segala sesuatu sebelum dilakukan klarifikasi. Berbicaralah secara baik-baik dan penuh pengertian dalam menghadapi suatu masalah, niscaya bahtera kehidupan rumah tangga akan senantiasa diberikan ketenangan, keteduhan, dan keberkahan.