Bapak
yang kuingat dengan jelas adalah seseorang yang pendiam dan sosok yang tak
banyak bicara. Ia lebih banyak menuangkan kisah hidup, ide-ide, pengalaman, hasil mengikuti kajian,
dan berbagai gagasan dalam bentuk tulisan tangan.
Dalam
kesempatan menjalani liburan Iedul Adha 1440 yang lalu, aku berkesempatan untuk
mengunjungi ibu yang telah ditinggal almarhum bapak sejak Januari 2019
lalu. Dan seperti biasa, salah satu tempat favoritku ketika pulang ke rumah
orang tua di kampung adalah ruangan tengah yang terdapat lemari atau rak buku yang di ujung depannya diletakkan pesawat TV. Sambil melepas penat, biasanya aku duduk dan membuka-buka koleksi buku peninggalan
bapak dan juga yang masih disimpan dengan baik oleh ibu. Koleksi tulisan tangan
asli bapak menjadi salah satu yang ingin aku baca sebagai sumber informasi tertulis di tengah minimnya informasi lisan. Sementara penuturan secara lisan lebih banyak diperoleh dari ibu.
Tulisan-tulisan bapak biasanya digoreskan pada buku-buku agenda atau notes berukuran kecil.
Salah
satu cerita yang ditulis almarhum bapak pada sebuah buku agenda yang berhasil
aku temukan dan aku bawa ke Jakarta adalah sebuah kisah nyata yang dia alami
sendiri pada tahun 2005. Tulisan-tulisan berupa kisah nyata yang dialami bapak
sebenarnya sangat jarang ditemukan dalam buku-buku agenda yang coba aku
telusuri. Namun kali ini ada sebuah tulisan yang membuatku merinding karena
penggambarannya dilakukan bapak dengan cukup detail dan mencekam.
Kisahnya
dibagi menjadi 2 (dua) bagian yang akan aku tuliskan kembali di sini namun
nama-nama orang lain yang ada dalam tulisan itu tidak akan aku ceritakan di
sini karena sifat dan perilakunya tak patut untuk ditiru.
Catatan I
Pada hari Minggu, tanggal 6 November 2005
pukul 20.15 WIB, datanglah ke rumah saya (note : bapak dan ibu-ku) 3 (tiga)
orang. Ketiganya duduk menghadap ke utara (di ruang tamu). Yang di tengah
bernama K, ujung barat A, dan paling timur D. Saya menghadap ke
selatan (bapak di kursi barat dan ibu di kursi timur). A mengatakan datang
untuk silaturahmi, begitu juga yang dua orang lagi. Selanjutnya A mengatakan
bahwa jika mengisi pengajian (ceramah agama) agar berhati-hati dan jangan
sampai meresahkan masyarakat.
Saya menjawab, “Saya ceramah berdasarkan
Qur’an dan Hadits Rosul dan pada akhir ceramah, saya akhiri dengan kata-kata
bahwa saya tidak mengharuskan untuk percaya isi ceramah. Kalau cocok dan betul
silakan dilaksanakan, kalau tak cocok yang jangan dilaksanakan. Kepada yang
biasa menjalankan adat-adat lama, saya tidak melarang tapi juga tidak menyuruh
karena di hadapan Allah, manusia akan bertanggung jawab sendiri-sendiri”. Lalu
saya menyarankan bahwa radio masjid X lebih meresahkan dari saya. Silakan
supaya ditutup. A menjawab, “Itu sudah ditangani oleh Kyai T”.
Pertemuan selesai pada pukul 21.20 WIB.
Catatan II
Pada tanggal 8 November 2005, saya bertandang ke rumah Haji Abdurrohman untuk pamitan karena pada
pertemuan haji tanggal 22-11-2005 saya tak bisa hadir sebab berada di Batam.
Waktu itu Haji Abdurrohman sedang berada di Jakarta sehingga yang menemui
adalah istrinya. Saya berpesan :
1.
Yang
mengisi pengajian ada yang usul Bapak SY.
2.
Surat-surat
dititipkan kepada ibu R.
Setelah selesai berkunjung, saya pergi ke
rumah Bapak D. Cerita-cerita tentang pertemuan tanggal 6 November 2005. Bapak D
menjelaskan bahwa ia diajak ke rumah saya supaya sebagai saksi bahwa A telah
menjumpai saya. Sebenarnya ia keberatan tapi karena ia kasihan kepada saya
karena ada orang yang ingin menyakiti, memukul saya, ia mau jadi saksi bahwa A
telah menjumpai saya dengan memberi nasihat supaya berhati-hati dalam ceramah
agama. Saya di rumah Pak D pukul 20.15 WIB dan pulang pukul 20.45 WIB.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Pak D,
jadi saya mengerti bahwa ada orang yang ingin membunuh saya.
Penutup
Penutup
Di jaman ini, nyawa seseorang kadang dihargai
dengan sangat murah, bahkan oleh pelaku yang juga beragama Islam. Padahal sangat jelas disebutkan bahwa nyawa seorang muslim
memiliki nilai yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT. QS An-Nisa ayat 93
secara gamblang menjelaskan, “Dan barang
siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah
Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatinya serta
menyediakan azab yang besar baginya”.