Kisah-kisah
penuh inspiratif bisa datang dari mana saja, termasuk sangat mungkin berasal
dari orang-orang yang pernah menjalin interaksi dengan kita di jaman dulu.
Seperti biasanya, Pak Kardono (sebut saja begitu), salah satu direktur perusahaan besar di Jakarta mengajak ketemuan dengan saya selepas jam kerja kantor. Kalau sudah begini biasanya, suasana pembicaraan biasanya akan mudah ditebak, obrolan khas beliau yang diselingi gelak tawanya yang khas akan berlangsung lama. Di balik kepulan asap rokok yang tak henti keluar dari mulutnya, ia akan bercerita tanpa saya minta. Dari beliau pula, saya banyak belajar tentang dunia kerja yang saya geluti. Dan dari sosok beliau yang low profile pula saya juga belajar berbagai hikmah kehidupan.
Sebagai orang yang berusia lebih muda, merupakan kesempatan langka jika saya bisa diajak ngobrol ngalor-ngidul
oleh pejabat tinggi kala itu. Meskipun kadang kedatangan saya sebenarnya hanya sebagai pelengkap percakapan karena saya lebih banyak diam sambil menemani beliau menunggu waktu yang tepat untuk pulang ke rumah.
Jika pekerjaan di kantor sedang padat dan menyita tenaga, kedatangan saya di depannya tak lebih hanya seperti patung, diam dan tak banyak bicara. Bukan apa-apa, rasa kantuk kadang menyerang begitu kuat sebagai dampak dari tersedotnya tenaga dan pikiran saat jam kerja. Tak ayal, karena tak kuat menahan serangan kantuk, saya hanya bisa menyela pembicarannya dengan komentar singkat “iya pak...” atau “oo, begitu... ”. Untungnya ia pun seolah sudah faham kalau dia tak begitu butuh masukkan dari saya.
Jika pekerjaan di kantor sedang padat dan menyita tenaga, kedatangan saya di depannya tak lebih hanya seperti patung, diam dan tak banyak bicara. Bukan apa-apa, rasa kantuk kadang menyerang begitu kuat sebagai dampak dari tersedotnya tenaga dan pikiran saat jam kerja. Tak ayal, karena tak kuat menahan serangan kantuk, saya hanya bisa menyela pembicarannya dengan komentar singkat “iya pak...” atau “oo, begitu... ”. Untungnya ia pun seolah sudah faham kalau dia tak begitu butuh masukkan dari saya.
Kebiasaan ngobrol ngalor-ngidul di belakang kantor setelah jam kerja kadang sampai berlanjut
lewat telpon. Kadang sampai saya menunda makan malam meski saya menenteng bungkusan pecel lele atau ayam penyet yang dibeli di tengah perjalanan pulang ke kost yang jaraknya tak lebih
dari 15 menit berjalan kaki ke kantor. Rasa penat yang menyerang tak membuat saya
berani untuk meminta obrolan via telpon dihentikan. Itu karena semata-mata ingin menghargai persahabatan serta rasa menunjukkan hormat saya dengan yang bersangkutan. Bahkan pernah di suatu ketika, karena
mata sudah tak bisa diajak kompromi, di sela-sela obrolan telpon itu saya
sempat tertidur beberapa detik !.
Seperti biasa, di hari itu saya janjian dengan Pak Kardono di belakang kantor. Dengan langkah cepat, saya segera menemuinya di lokasi favorit yang biasa dipakai kongkow. Obrolan ngalor-ngidul mulai mengalir, dan entah karena apa, pembicaraan "nyangkut" di soal topik pernikahan orang-orang dengan istri lebih dari satu. Dengan nada terkekeh, beliau yang sudah usianya sudah
mencapai hampir 60 tahun pernah berkata kepada saya seperti ini : “Mustahil mas, nek ono wong wedok enom gelem
“mlaku” karo aku, sing wis tuwo koyok ngene iki, nek ora ono maksud liyane seliya roso seneng”. Jika
dibahasa-Indonesia-kan kira-kira artinya menjadi begini, “Mustahil mas, jika
ada perempuan muda yang mau ‘jalan’ sama saya yang sudah tua ini jika tidak ada
maksud lain selain rasa cinta”.
Dengan nalar dan logikanya yang tinggi, ia seolah menyadari bahwa hampir tidak mungkin ada perempuan
muda yang mau dengan dirinya, yang sudah tidak gagah lagi, gigi ompong, dan berjalan pun sudah tidak tegap lagi. Apa yang dibanggakan di depan
kawan-kawan seusia perempuan muda itu jika bergandengan tangan dengan seorang yang usianya terpaut jauh. Saya iseng bertanya, apa sih yang membuat seorang perempuan muda mau dinikahi seorang tua bangka ?. Ia memberi
jawaban singkat : hartalah yang dapat membuat hal itu menjadi kenyataan.
Namun Pak Kardono adalah Pak Kardono. Ia bukan tipe kebanyakan orang dengan cara berfikir biasa. Padahal jika mau dituruti, ia sangat mungkin melakukannya, apalagi di kota besar seperti Jakarta ini, semua orang bisa bertindak apa saja. Orang-orang saling berlomba mengejar hedonisme keduniawian dengan sikut kanan sikut kiri. Pak Kardono sendiri sebenarnya telah memperoleh segala-galanya di dunia ini : karir cemerlang di berbagai perusahaan besar, relasi luas, pendidikan tinggi, mobil mewah, rumah megah. Hobinya pun tidak semua orang mampu melakukannya karena tergolong mahal : bermain golf !. Dengan seabrek kemewahan dunia yang dimilikinya, sangat mungkin bagi Pak Kardono untuk menikahi perempuan muda yang masih polos dan cantik. Sementara di sisi lain, istrinya yang sekarang sudah semakin menua seiring juga dengan usianya yang makin uzur. Pasangannya saat ini sudah bukan perempuan muda lagi yang menarik. Bahkan istrinya harus sering terbaring di rumahnya di luar kota Jakarta karena masih terus berjuang dengan penyakitnya. Pak Kardono pun harus bolak-balik Jakarta ke kota tempat istrinya tinggal karena lebih memilih hidup di kampung halamannya dibanding Jakarta yang terlalu hiruk pikuk.
Namun Pak Kardono adalah Pak Kardono. Ia bukan tipe kebanyakan orang dengan cara berfikir biasa. Padahal jika mau dituruti, ia sangat mungkin melakukannya, apalagi di kota besar seperti Jakarta ini, semua orang bisa bertindak apa saja. Orang-orang saling berlomba mengejar hedonisme keduniawian dengan sikut kanan sikut kiri. Pak Kardono sendiri sebenarnya telah memperoleh segala-galanya di dunia ini : karir cemerlang di berbagai perusahaan besar, relasi luas, pendidikan tinggi, mobil mewah, rumah megah. Hobinya pun tidak semua orang mampu melakukannya karena tergolong mahal : bermain golf !. Dengan seabrek kemewahan dunia yang dimilikinya, sangat mungkin bagi Pak Kardono untuk menikahi perempuan muda yang masih polos dan cantik. Sementara di sisi lain, istrinya yang sekarang sudah semakin menua seiring juga dengan usianya yang makin uzur. Pasangannya saat ini sudah bukan perempuan muda lagi yang menarik. Bahkan istrinya harus sering terbaring di rumahnya di luar kota Jakarta karena masih terus berjuang dengan penyakitnya. Pak Kardono pun harus bolak-balik Jakarta ke kota tempat istrinya tinggal karena lebih memilih hidup di kampung halamannya dibanding Jakarta yang terlalu hiruk pikuk.
Sobat pembaca, kisah di atas adalah cerita nyata yang saya jumpai di Jakarta, di
sebuah kota metropolitan yang membuat siapa saja bebas bertindak melakukan apa
saja. Namun Pak Kardono memilih jalan yang diyakininya akan menyelamatkan diri
dan keluarganya dari kehancuran yaitu “kesetiaan”. Kelihatannya klise ya sobat. Mana ada di jaman sekarang ada kata-kata seperti itu bagi laki-laki. Sebuah prinsip menjaga perasaan pasangan
yang tinggi. Entah kekuatan apa yang dapat membuat beliau bersikukuh mempertahankan prinsip di saat kesempatan itu terbuka lebar, dan bahkan mungkin saja direstui istrinya jika ia mau mengutarakannya. Namun inilah gambaran sebuah potret kehidupan yang selalu saja ada sisi-sisi lain yang mustahil terjadi.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai peristiwa di sekitar kita. Saya menulis cerita
ini juga tidak dengan bermaksud untuk membandingkan praktek monogami vs poligami. Tidak ada yang perlu dipertentangkan soal itu karena Al-Qur’an sudah memberikan petunjuk dan panduan yang jelas akan kebolehan poligami. Namun dengan, bercermin dari
kisah bapak yang satu ini, memilih untuk setia dengan satu orang adalah pilihan terbaik dan keputusan yang paling tepat bagi sebagian orang. Kebahagiaan hidup tidaklah hanya
semata-mata soal berapa jumlah istri namun bagaimana suami istri mampu saling mengisi hari-hari yang dilaluinya bersama dengan saling pengertian dan penuh
kasih sayang, meskipun kesempurnaan fisik sudah tidak ada lagi pada diri dan pasangannya. So sweet !.