Minggu
lalu aku kedatangan salah satu kawan yang dulu sama-sama bekerja di perusahaan
yang sama, sebut saja namanya Harlan.
Di
saat melakukan aktivitas kantor sehari-hari, aku dikejutkan dengan deringan
telpon di extension-ku. Salma, customer service bilang ada Pak Harlan yang menunggu
di ruang tamu di lantai dasar. Tanpa berlama-lama, aku segera berlari menuruni tangga untuk menemuinya.
Sebagaimana
teman yang dalam beberapa tahun terakhir tidak bersua, aku menyambutnya dengan
hangat. Kusalami tangannya dan kuajak beralih ke ruang lain di dalam agar
pertemuan kami tidak terganggu dengan lalu lalang karyawan yang lewat.
Setelah
duduk di sofa yang lumayan empuk, basa-basi pembicaraan mulai terlontar dari mulutku.
“Gimana kabarmu, Lan ?” tanyaku
sembari HP-ku aku taruh di meja di depan sofa. “Ya, baik, Jar”, jawabnya singkat. “Oya, si Hendra ada di kantor ?”, tanyanya lagi. “Ngga ada, Lan. Dia sudah sebulan ini
dipindah ke divisi lain. Kantornya tidak di sini”, jawabku. Mungkin dia ingin bertemu
Hendra untuk berkonsultasi tentang laporan pajak perusahaan yang harus ia disiapkan. Maklum saja, sejak resign dari perusahaan kami bekerja, ia dipercaya memegang tampuk pimpinan di sebuah perusahaan keluarga yang sedang berkembang pesat. Kedudukannya di sana jelas lebih mentereng. Ia dipercaya
menjadi general manager yang
mengurusi semua bisnis penting perusahaan tersebut. Gajinya pun jangan ditanya. Itulah alasan mengapa dulu ia memutuskan keluar dari perusahaan tempat aku dan dia bekerja dulu : gaji yang ditawarkan
di tempat baru jauh berlipat dari yang diperolehnya kala itu.
Dengan
kariernya di tempat baru yang cukup cemerlang dan penghasilan yang tinggi tentu saja membuat orang
lain merasa iri dengannya. Kebahagiaan itu sering aku tangkap apabila
mendengar kisah-kisah kesuksesan pekerjaannya kala itu. Belum lagi dengan keharmonisan
keluarga yang tertangkap saat berjumpa dengan istri dan anak-anaknya.
Tak ayal lagi, kehidupan dunia dan akhirat tampaknya sudah berada dalam genggamannya.
Namun ibarat roda pedati yang selalu berputar, nasibnya kini berubah 180 derajat. Semua kesuksesan dan kebahagiaan itu tiba-tiba sirna manakala ia bercerita tentang kesulitan yang
mulai dialami. Sebuah kenyataan hidup yang tidak disangka-sangkanya. Perusahaan
tempatnya bekerja dan memenuhi rizkinya mulai goyah. Order bisnis tiba-tiba
menurun tajam. Banyak proyek-proyek pemerintah dan swasta yang tiba-tiba dibatalkan tendernya. Hal ini membuat prediksi pendapatan perusahaan menjadi
kacau. Ia bilang bahwa kejadian ini diakibatkan oleh ketidakbecusan owner perusahaan sekaligus big boss-nya dalam mengendalikan
perusahaan. Diantara proyek-proyek yang sudah berjalan, sang owner selalu mendominasi pengelolaan dan
tidak banyak melibatkan anak buahnya. Di saat pendapatan perusahaan tinggi, tak
ada penyisihan yang layak untuk membayar biaya operasional perusahaan sehingga bom waktu itu terasa di saat perusahaan mengalami kesulitan bisnis seperti yang terjadi sekarang.
Kerumitan
itu tidak berhenti di sana. Akibat menurunnya omzet perusahaan dan dibarengi ketidakpercayaan antara owner dan karyawan, nasib puluhan karyawan yang bekerja di sana berada di ujung tanduk. Hal itu pun
berimbas pada gaya kehidupan keluarga si Harlan. “Mas, aku datang ke kantormu ini sebenarnya tidak ada tujuan dan maksud
yang pasti”, lirihnya. “Hari-hariku
sekarang tidak dapat diprediksi karena sudah tidak ada lagi pekerjaan harian
yang dulu biasanya sibuk aku urusi. Semua karyawan resah. Datang ke kantor tapi
tidak ada semangat”.
Aku
mulai menarik nafas dalam. Harlan yang dulunya selalu bersemangat menceritakan kesuksesan karir di perusahannya, kini tak terlihat lagi ada aura itu dari dirinya. Tubuhnya yang dulu tegap
sekarang mulai kelihatan loyo. Raut mukanya terlihat lebih tua dari usianya yang masih muda.
Akibat keterpurukan yang tiba-tiba menderanya, ia kadang harus menunda untuk sekedar mengisi perut. Badannya
menjadi terlihat kurang terurus. Ia bilang, uangnya sudah tidak ada lagi. Saat
lebaran kemarin tak ada lagi baju-baju baru yang mampu ia beli untuk istri
dan anak-anaknya. “Subhanallah. Begitu
dahsyatnya cobaan yang harus ia alami”, kataku dalam hati.
Memasuki
siang hari, aku mengajak Harlan ikut denganku untuk menunaikan ibadah sholat dzuhur dan
makan siang di kantin dekat masjid yang berada tak jauh dari kantorku.
Sepanjang perjalanan ke masjid, aku hanya bisa mendengar cerita demi cerita
yang keluar dari mulutnya. Dunia saat itu seperti terbalik. Hampir mustahil
kejadian memilukan itu menimpa kawanku. Tapi itulah lika-liku kehidupan dunia.
Aku sadar bahwa tidak ada hal yang tak mungkin bagi Yang Maha Kuasa dalam merubah
nasib hamba-Nya. Aku hanya bisa menyampaikan pesan agar ia tetap bersabar dan
bertawakkal dengan kondisi yang ia alami saat ini. Keluarga juga harus dikuatkan dengan situasi yang tidak biasanya. Mungkin inilah cobaan yang harus ia hadapi agar ia dan orang-orang yang menyaksikannya dapat mengambil hikmah di
balik kejadian. Boleh jadi sesuatu yang menurut manusia baik, belum tentu baik menurut Allah, begitu juga sebaliknya. Sementara di sisi lain, aku harus bersyukur dengan keadaaanku saat
ini yang tidak lebih buruk dibanding orang lain.
Setelah menunaikan sholat dan makan siang, aku dan Harlan kembali lagi ke kantor. Melanjutkan sedikit pembicaraan dan peluang-peluang bisnis yang dapat dikerjasamakan dengan perusahaanku. Ia pun kemudian pamit pulang. Aku genggam erat tangannya sembari aku selipkan beberapa lembar uang sebagai ongkos bensin motornya. Di balik tubuhnya yang mulai menghilang dari pandangan, aku kembali berdoa dan berharap ia segera terlepas dari kesulitan yang dihadapi.
Penutup
Sahabatku, keterpurukan demi keterpurukan yang dialami oleh orang-orang di sekitar kita selayaknya menjadi ibroh dan pembelajaran yang berarti bagi kita. Harlan telah kehilangan segalanya. Kondisi psikologis keluarganya berubah drastis. Tak bisa dibayangkan jika hal itu menimpa diri kita, belum tentu kita akan bisa lolos dari cobaan seperti itu.
Penutup
Sahabatku, keterpurukan demi keterpurukan yang dialami oleh orang-orang di sekitar kita selayaknya menjadi ibroh dan pembelajaran yang berarti bagi kita. Harlan telah kehilangan segalanya. Kondisi psikologis keluarganya berubah drastis. Tak bisa dibayangkan jika hal itu menimpa diri kita, belum tentu kita akan bisa lolos dari cobaan seperti itu.
Sahabatku, kita pasti sudah hafal tentang 5
(lima) perkara yang harus kita jaga sebelum datangnya 5 (lima) perkara. Salah
satunya adalah bagaimana masa kayamu sebelum datang masa miskinmu. Kemewahan
dan gemerlapnya dunia jangan membuat kita terlena. Kita tidak boleh lupa untuk tetap menyisihkan uang jerih payah bekerja kita sehari-hari sebagai tabungan di masa
depan.
Selain menyisihkan pendapatan, kita juga harus dapat menyisihkan sebagiannya untuk ber-infaq dan ber-shadaqah. Kapan lagi kita bisa melakukannya kecuali di saat ada kelapangan rizki. Hindari hidup berfoya-foya dan tanpa perhitungan meski uang ada dalam gengaman. Allah SWT Maha Berkuasa merubah jalan kehidupan hamba-Nya. Dan jangan lupa untuk tetap bersyukur dengan apa yang kita peroleh saat ini karena niscaya Allah akan menambahkan nikmat itu. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim ayat 7).
Selain menyisihkan pendapatan, kita juga harus dapat menyisihkan sebagiannya untuk ber-infaq dan ber-shadaqah. Kapan lagi kita bisa melakukannya kecuali di saat ada kelapangan rizki. Hindari hidup berfoya-foya dan tanpa perhitungan meski uang ada dalam gengaman. Allah SWT Maha Berkuasa merubah jalan kehidupan hamba-Nya. Dan jangan lupa untuk tetap bersyukur dengan apa yang kita peroleh saat ini karena niscaya Allah akan menambahkan nikmat itu. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS Ibrahim ayat 7).