Pemungutan suara dalam rangka
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baru saja usai dan kini rakyat Indonesia
tinggal menunggu hasil rekapitulasi yang sedang dilakukan oleh KPU (Komisi
Pemilihan Umum). Salah satu hasil pengumuman yang sangat ditunggu-tunggu adalah
hasil pemilihan presiden dan wakil presiden RI periode 2019-2024.
Ketatnya persaingan antara paslon
nomor urut 1 Jokowi-Ma'ruf Amin vs paslon nomor urut 2 Prabowo-Sandiaga
menyebabkan terjadinya polarisasi yang begitu kuat di tengah-tengah masyarakat.
Apalagi dengan melihat hasil hitungan sementara yang menunjukkan adanya
indikasi hasil kemenangan yang tidak terpaut jauh dari pasangan yang berpotensi
kalah. Di samping itu terdapat permasalahan serius mengenai sebaran kemenangan paslon yang tidak merata. Meskipun dari hasil quick count dinyatakan Jokowi memenangkan kontestasi Pilpres 2019 namun hasil kemenangan tersebut hanya terlihat menyolok di kantong-kantong suara terbesar terutama di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, sementara di wilayah lain terutama Sumatera, Prabowo banyak memperoleh kemenangan. Inilah yang menjadi pangkal penyebab adanya pemenang Pilpres 2019 yang bisa jadi hanya ter-legitimasi di sejumlah provinsi saja namun sangat kecil pengakuannya di daerah lain.
Selama ini kita hanya mengetahui bahwa
kemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden ditentukan dari jumlah
akumulasi surat suara sah yaitu yang memiliki jumlah terbanyak (50+1) yang
merupakan gabungan total dari seluruh surat suara yang masuk dari seluruh
wilayah pemungutan suara di Indonesia. Sehingga ketika masing-masing pihak
mengklaim telah mendapat suara mayoritas, tak pelak atmosfir kemenangan pun
dirasakan oleh kedua pihak tersebut. Namun dengan mengacu pada aturan
hukum tertinggi di negara kita yaitu UUD 1945, apakah klaim kemenangan dengan
hanya berpatokan pada hasil perolehan suara terbanyak sudah sesuai dengan
amanat undang-undang dasar tersebut ?. Sementara kita tahu bahwa tidak ada
produk hukum lain yang berada di atas UUD 1945.
Atas indikasi adanya persaingan
super ketat antara Jokowi versus Prabowo dalam Pilpres 2019, saya setidaknya
mencatat terdapat setidaknya pendapat 2 (dua) ahli hukum yang mengkoreksi
adanya pandangan bahwa kemenangan paslon sudah dapat diraih apabila telah
mendapatkan suara terbanyak.
Ahli hukum yang pertama adalah Dr
Suteki SH, MHum yang di halaman FB-nya menyatakan bahwa ketentuan tentang
pemenang pilpres sudah diatur dalam UUD 1945 yaitu Pasal 6A Ayat 3 yang
berbunyi, "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan
suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum
dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar
di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden
dan Wakil Presiden."
Atas ketentuan di atas, Dr Suteki
menyatakan bahwa semua lembaga negara dan warga negara wajib tunduk dan
mematuhi UUD 1945 termasuk lembaga MK (Mahkamah Konstitusi). Dengan kata lain,
MK tidak boleh menafsirkan dan menguji pasal-pasal UUD 1945 bila secara
gramatikal sudah tertulis dengan jelas dan tidak multi tafsir. Tidak perlu untuk
mengambil sekolah tinggi hukum guna memahami arti Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945
dimana calon pasangan yang akan dilantik menjadi presiden dan wakil presiden
adalah calon pasangan yang memenuhi kriteria : (1) memiliki suara lebih dari
50% dari jumlah suara di pemilu, dan (2) sedikitnya harus memenuhi 20% suara di setiap provinsi dari 18 provinsi yang ada di Indonesia).
Terdapat pendapat yg
kontra dengan dalil di atas dengan dalih apabila hanya ada 2 (dua) pasangan
calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dalam Pemilu 2019 ini maka
menurut Putusan MK nomor 50/PUU-XII/2014 tidak berlaku syarat terkait sebaran
suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Atau dengan kata
lain, pasangan capres dan cawapres yang memperoleh suara terbanyak dapat
langsung dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Dr Suteki membantah tudingan yang
menyatakan bahwa dalam Pilpres 2019 ini perolehan suara terbanyak salah satu
pasangan capres dan cawapres dapat secara otomatis memenangkan pilpres meskipun
tidak dibarengi dengan sedikitnya dua puluh persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Hal ini
dikarenakan adanya sejumlah hal yang urgent dan perlu dipertanyakan lebih
lanjut mengenai :
- Bagaimana mungkin MK (Mahkamah Konstitusi) dapat menilai tidak berlakunya suatu pasal dalam UUD 1945 ?.
- Bukankah MK hanya berwenang menguji undang-undang terhadap UUD, dan bukan menguji UUD itu sendiri ?
Bila demikian, bisakah
disimpulkan bahwa Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 itu inkonstitusional ?.
Pendapat Otto Hasibuan
Otto Hasibuan, salah seorang advokat
kawakan di sebuah media online mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 50/PUU-XII/2014 yang dianggap menghapuskan syarat perolehan suara minimal
20 persen di setengah jumlah provinsi ditujukan khusus untuk UU Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi dasar dari pelaksanaan
Pilpres 2014. Pasca lahirnya UU No 17 Tahun 2017, Putusan MK tersebut
tidak berlaku lagi. Otto juga menyoroti pendapat Yusril Ihza Mahendra yang mengutip Putusan MK terhadap UU Nomor 42 Tahun
2008. Dan itu tidak relevan setelah adanya UU Nomor 17 Tahun 2017. Dia
menambahkan, menurut ayat (2) Pasal 416 UU Nomor 17 Tahun 2017, apabila tidak
ada pasangan capres dan cawapres yang memenuhi syarat suara minimal 20% di lebih dari setengah jumlah provinsi maka pemilihan presiden harus diulang.
Hasil Sementara Pilpres 2019
Dengan melihat hasil sementara Pilpres 2019 yang termuat di https://pemilu2019.kpu.go.id sampai dengan update tanggal 23 April 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan perolehan suara sementara sebesar 55,61% dengan perolehan suara 20% ke atas ada di masing-masing 31 provinsi. Artinya, di setiap 31 provinsi tersebut Jokowi mendapat suara lebih dari atau sama dengan 20%. Jika Jokowi mampu mempertahankan keunggulan suara nasional ( > 50%) dan meraih minimal 20% suara di minimal 18 provinsi maka hal itu telah merepresentasikan sebuah kemenangan yang sah. Namun apabila sampai akhir perhitungan ternyata kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka sesuai pendapat Otto Hasibuan, pilpres 2019 harus diulang kembali karena tidak ada pemenang yang secara hukum memenuhi syarat Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945.
Dengan melihat hasil sementara Pilpres 2019 yang termuat di https://pemilu2019.kpu.go.id sampai dengan update tanggal 23 April 2019, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan perolehan suara sementara sebesar 55,61% dengan perolehan suara 20% ke atas ada di masing-masing 31 provinsi. Artinya, di setiap 31 provinsi tersebut Jokowi mendapat suara lebih dari atau sama dengan 20%. Jika Jokowi mampu mempertahankan keunggulan suara nasional ( > 50%) dan meraih minimal 20% suara di minimal 18 provinsi maka hal itu telah merepresentasikan sebuah kemenangan yang sah. Namun apabila sampai akhir perhitungan ternyata kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka sesuai pendapat Otto Hasibuan, pilpres 2019 harus diulang kembali karena tidak ada pemenang yang secara hukum memenuhi syarat Pasal 6A Ayat 3 UUD 1945.