Setelah naskah proklamasi
kemerdekaan selesai disiapkan di kediaman Tadashi Maeda (kini Museum
Perumusan Naskah Proklamasi) maka selanjutnya naskah tersebut dibacakan di
pelataran rumah Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur No 56 (kini Jl Proklamasi).
Bekas rumah Bung Karno itu sayangnya kini sudah tidak terlihat lagi alias hilang begitu saja tanpa jejak. Kita hanya dapat menjumpai titik di mana dulu Soekarno membacakan naskah teks proklamasi. Titik itulah yang kemudian disebut sebagai Tugu Petir atau Tugu Proklamasi.
Jika melihat foto asli hitam putih saat
pembacaan naskah teks proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 maka akan terlihat
bahwa di belakang Soekarno terdapat sebuah bangunan yang merupakan kediaman
atau rumah Soekarno. Gara-garanya Soekarno sendiri yang kemudian di tahun 1961
meminta agar rumahnya dibongkar atau dirobohkan maka bukti penting sejarah itu
tak dapat dilihat lagi oleh generasi saat ini dan mendatang (kini berubah
menjadi sebuah gedung beberapa lantai yang bernama Gedung Pola).
Mengapa Bung Karno memilih meruntuhkan
bangunan rumah kediamannya sendiri ? Padahal bangunan itu memiliki sejarah
penting dalam perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bukankah Soekarno sering
mengatakan ”Jas Merah” alias ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan atau Melupakan
Sejarah” ?. Hampir tidak ada yang dapat memiliki bukti otentik atas latar
belakang pasti mengapa Bung Karno memilih untuk meratakan rumahnya dengan
tanah. Hanya Bung Karno sendiri yang tahu alasannya. Namun dari sejumlah
spekulasi yang muncul terdapat salah satu versi cerita yang mungkin saja
mengandung nilai kebenaran.
Sebagaimana diketahui, sebelum kembali
dari tempat pengasingannya, Soekarno dan keluarganya sempat mengalami masa-masa
sulit saat pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Soekarno ke Ende, Flores
(1934-1938) dan selanjutnya dipindahkan ke Bengkulu (1938-1942). Praktis selama
sekitar 8 (delapan) tahun Soekarno harus berjuang dalam kesulitan di tempat
pembuangan.
Pada saat mengalami masa pengasingan di
Bengkulu, Soekarno bertemu dengan Fatmawati (nama aslinya Fatimah), anak dari
seorang tokoh Muhammadiyah bernama Hasan Din. Fatmawati pada mulanya dianggap
sebagai anak tiri Soekarno dan diterima dengan baik oleh istri Soekarno yang
ikut mendampingi Soekarno yaitu Inggit Garnasih. Namun lagi-lagi cerita menjadi
berubah manakala Soekarno tertarik hatinya kepada anak perempuan yang lebih
layak menjadi anaknya (padahal istri pertama Soekarno yang dulu juga seorang
anak perempuan muda yang kemudian harus mengalami nasib tak mengenakkan).
Mengapa kini Soekarno justru menginginkan perempuan lain sedangkan di
sampingnya sudah ada Inggit Garnasih yang perjuangannya menemani masa-masa
sulit sudah terbukti ?.
Benih-benih perpecahan rumah tangga
Soekarno mulai terlihat saat di Bengkulu ini. Usia Inggit waktu itu sudah memasuki
usia lebih dari 50 tahun sementara Soekarno masih seorang pemuda yang jiwanya
menyala-nyala dan bersemangat penuh vitalitas. Hampir tidak ada kemungkinan
Inggit dapat melahirkan keturunan sementara Soekarno menginginkan
keberlangsungan penerus perjuangan. Maka ketika dilihatnya Fatmawati, terbersit
keinginan Soekarno mempersunitng gadis muda itu sebagai istrinya.
Bersamaan dengan datangnya bala tentara
Jepang ke Hindia Belanda di tahun 1942 maka Soekarno pun kembali ke Pulau Jawa
sampai kemudian menempati sebuah rumah di Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta. Saat
kepindahan Soekarno ke Jakarta itu, Soekarno masih mengalami kerumitan hidup dalam
menghadapi reaksi Inggit Garnasih ketika mengetahui dirinya berhasrat menikahi
Fatmawati. Inggit tidak rela dirinya dimadu. Sementara di sisi lain, Fatmawati
juga mengajukan syarat yang sama : hanya bersedia dinikahi Soekarno jika tidak
ada perempuan lain. Di sinilah prahara rumah tangga Soekarno kembali terjadi
seperti sebuah siklus yang berulang. Pada akhirnya Soekarno mengambil keputusan
: pada tanggal 29 Januari 1943 dibuatlah sebuah surat perjanjian perceraian
yang dibuat dan ditandatangani di rumah Jl Pegangsaan Timur No 56 Jakarta.
Surat perjanjian cerai itu antara lain menyebutkan adanya kewajiban Soekarno
untuk menyediakan rumah bagi Inggit Garnasih di Bandung. Surat itu
ditandatangani kedua belah pihak yang bercerai dengan disaksikan 3 (tiga) tokoh
pergerakan nasional : Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan KH Mas Mansoer.
Dari cerita pilu di atas memang menjadikan hal yang wajar apabila terdapat spekulasi bahwa Bung Karno nekad membongkar rumahnya sendiri karena tidak ingin sejarah pahit yang dialaminya dijadikan cerita turun-temurun di kalangan generasi bangsa Indonesia. Namun tentu saja alasan yang lebih pasti hanyalah Soekarno sendiri yang tahu.
Dari cerita pilu di atas memang menjadikan hal yang wajar apabila terdapat spekulasi bahwa Bung Karno nekad membongkar rumahnya sendiri karena tidak ingin sejarah pahit yang dialaminya dijadikan cerita turun-temurun di kalangan generasi bangsa Indonesia. Namun tentu saja alasan yang lebih pasti hanyalah Soekarno sendiri yang tahu.