Keruntuhan Sunda Kelapa yang
sebelumnya dikuasai oleh Portugis pasca serangan Fatahillah beserta pasukannya
di tanggal 22 Juni 1527 M telah membuat Sultan Trenggana di Kerajaan Demak
diliputi rasa bahagia yang luar biasa.
Keberhasilan penaklukan Sunda Kelapa
tersebut juga semakin memperkecil pengaruh raja-raja Hindu Pajajaran di wilayah
Sunda Kelapa dan sekitarnya. Sebagai gantinya lahirlah sebuah kota dengan
mayoritas berpenduduk muslim yang dinamakan “Jayakarta” yang artinya “kota
kemenangan”. Diangkatlah Fatahillah sebagai adipati pertama dengan gelar
“Pangeran Jayakarta”.
Setelah beberapa tahun memimpin dan
berkuasa di Jayakarta, Fatahillah kemudian memutuskan untuk kembali ke Cirebon
dan mewariskan tahtanya di Jayakarta kepada generasi penerusnya. Fatahillah
sendiri kemudian diketahui meninggal dunia pada tahun 1570 dan dimakamkan di Sembung,
Bukit Gunung Jati, Cirebon.
Sejak runtuhnya kekuasaan Portugis
atas Sunda Kelapa yang kemudian beralih nama menjadi Jayakarta, banyak pelarian
Portugis yang memberikan informasi kepada orang-orang Belanda tentang
kemakmuran Jayakarta. Dari sinilah dimulai episode Belanda untuk memulai
ekspedisi guna menaklukan Jayakarta dari tangan kekuasaaan orang Islam di bawah
pimpinan Fatahillah yang bergelar Pangeran Jayakarta. Jabatan adipati Jayakarta
yang sebelumnya dipegang oleh Fatahillah kemudian beralih ke Ki Bagus Angke
(1570 – 1596) lalu ke Pangeran Jayakarta Wijayakrama (1596 – 1619).
Awal mula keruntuhan Jayakarta
dimulai dengan kedatangan 4 (empat) buah kapal Belanda di bawah pimpinan
Cornellis de Houtman di tanggal 13 November 1596 yang disusul dengan adanya
perjanjian antara penguasa Jayakarta waktu itu (Pangeran Jayakarta Wijayakrama)
dengan Kapten Jacques L’Hermite dimana VOC diperbolehkan untuk membangun sebuah
gudang permanen pertamanya di timur Sungai Ciliwung. Gudang ini kemudian diberi
nama Nassau Huis.
Tahun 1617, Jan Pieterzoon Coen yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) ke-4 memperluas Nassau Huis dengan membangun gedung berikutnya bernama Mauritius Huis. Diantara kedua gedung ini dibangun tembok persegi membentuk benteng yang dilengkapi dengan meriam di setiap sudutnya.
Tahun 1617, Jan Pieterzoon Coen yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jendral VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) ke-4 memperluas Nassau Huis dengan membangun gedung berikutnya bernama Mauritius Huis. Diantara kedua gedung ini dibangun tembok persegi membentuk benteng yang dilengkapi dengan meriam di setiap sudutnya.
Pendirian
benteng ini menimbulkan kemarahan Pangeran Jayakarta Wijayakrama karena Jan
Pieterzoon Coen telah melanggar perjanjian dengan mengubah lojinya menjadi
benteng pertahanan perang. Akhirnya dengan bantuan orang-orang Inggris yang
bentengnya tidak berjauhan dengan VOC, pada tanggal 23 Desember 1618 Pangeran
Jayakarta Wijayakrama mengadakan persiapan serangan melawan VOC. Untuk
menghindari kekalahan karena kurangnya jumlah pasukan maka kapal-kapal Belanda di bawah pimpinan Jan Pieterzoon
Coen kemudian segera meninggalkan Jayakarta menuju Maluku untuk menghimpun armada perang yang lebih lengkap.
Pada tanggal 30 Mei 1619, pasukan VOC
di bawah komando Jan Pieterzoon Coen tiba dari Maluku dan bergerak masuk ke Jayakarta dan
membumihanguskan seluruh kota beserta isinya. Tidak ada perlawanan yang berarti dari pihak Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Pasca kejadian jatuhnya Jayakarta ke tangan VOC, nama Jayakarta
berubah menjadi Nieeuw Hoors yang kemudian berganti lagi ke nama baru : Batavia.