Bagi
orang muslim yang masih muda dan mampu untuk melakukan puasa tanpa halangan
yang dapat dimaklumi atau diijinkan secara syari maka tidak ada alasan bagi
orang tersebut untuk tidak menjalankan ibadah puasa.
Namun bagi orang-orang tertentu, Allah SWT telah memberikan jalan keluar, misalnya untuk orang yang menderita sakit berkepanjangan yang membuatnya tidak kuasa atau tidak sanggup melakukan puasa. Bagi orang yang menderita penyakit menahun yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya maka ia boleh tidak berpuasa serta tidak wajib mengqadha puasanya di waktu yang lain. Ia hanya diwajibkan untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin selama jumlah hari puasa yang ditinggalkan. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaklah membayar fidyah dengan memberi makan pada seorang miskin” (QS Al Baqarah 184). Ibnu Abbas ketika membaca ayat ini menyatakan bahwa ayat ini ditujukan kepada pria atau wanita yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa. Keduanya wajib membayar fidyah kepada 1 (satu) orang miskin untuk setiap hari yang ia tinggalkan puasanya.
Lalu
berapa jumlah yang harus dibayarkan per harinya ?. Beberapa ulama seperti Syaikh
bin Baz, Syaikh Shalih Al Fauzan, dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts
Al’Ilmiyyah wal Ifta’ menyatakan bahwa ukuran fidyah adalah ½ sha’ dari makanan
pokok di negeri masing-masing, misal kurma, beras, dan sebagainya. Namun yang
paling afdhol adalah dengan mengembalikan pada adat kebiasaan di negeri
setempat tentang berapa lazimnya jumlah yang layak untuk memberi makan 1 (satu)
orang miskin per hari. Jika di Indonesia, orang rata-rata makan 3 (tiga) kali
sehari maka bagi pembayar fidyah juga menyesuaikan dengan kebiasaan ini.
Apabila dihitung jumlah kebutuhan 1 (satu) orang makan per hari rata-rata 1,5
kg beras maka bayarlah dengan beras seberat 1,5 kg per hari. Pelaksanaannya dapat
ditunaikan secara harian atau sekaligus dikumpulkan berapa jumlah hari yang ditinggalkan dan ditunaikan di akhir bulan Ramadhan.