Hampir
di seluruh wilayah nusantara, di kalangan orang-orang tua, dikenal tradisi
menikmati sirih (meyirih atau menginang) sebagai salah satu jenis kesenangan
pribadi.
Tidak
dapat dipastikan kapan tradisi menginang ini muncul pertama kali di Indonesia,
namun berdasarkan berita dari Cina, musafir I-tsing mengatakan bahwa pada abad
ke-7 M, orang-orang di Sumatera sudah mengenal dan memanfaatkan buah pinang. Di
Pulau Jawa istilah “pakinangan” serta “pucang sireh” (pinang dan sirih) sudah
disebutkan pada beberapa prasasti di abad ke-9 dan 10 M. Selain itu, berita
Cina dari masa Dinasti Sung telah mencantumkan sirih dan pinang sebagai satu
bahan komoditi perdagangan yang diimpor dari Jawa antara abad ke-10 hingga 14 M
selain emas, perak, cula badak, beragam kayu, dan sebagainya.
Ramuan pokok dalam menginang terdiri dari daun sirih, kapur sirih,
gambir dan buah pinang. Ramuan tersebut biasanya ditempatkan pada wadah khusus
yang dinamakan “pekinangan” yang terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti
bamboo, kayu, buah labu, dan bahan lainnya. Sedangkan di kalangan bangsawan,
bahan pekinangan terbuat dari logam (emas dan perak). Perangkat sirih biasanya
menjadi pendukung dalam berbagai upacara adat seperti upacara penobatan kepada
adat atau penghulu, pernikahan, serta untuk menyambut tamu.
Pekinangan dari bahan kuningan yang digunakan oleh kelompok msyarakat berstatus sosial tinggi |
Paidon ; dipakai sebagai wadah ludah sirih |
Tas sirih ; dipakai sebagai tempat menyimpan sirih yang mudah dibawa ke mana-mana |