BPK dalam laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta tahun 2014 menyatakan
bahwa dalam pembelian tanah RS Sumber Waras terindikasi adanya kerugian
keuangan daerah sebesar Rp 191,3 milyar. Namun sebaliknya, Ketua KPK, Agus
Rahardjo, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI tanggal 14 Juni 2016
menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan KPK, belum ditemukan adanya perbuatan
melawan hukum dalam kasus pembelian lahan YKSW (Yayasan Kesehatan Sumber
Waras).
Perbedaan hasil temuan antara BPK
dan KPK di atas disebabkan oleh perbedaan peraturan yang dipakai sebagai dasar
investigasi oleh masing-masing institusi tadi. BPK menggunakan Perpres No. 71
tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Agustus 2012. Sementara,
aturan teknis yang dijadikan pedoman oleh KPK dalam melakukan penyelidikan
adalah Perpres No. 40 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No. 71 tahun
2012 yang mulai berlaku sejak tanggal 24 April 2014.
Kedua aturan teknis tersebut
memiliki perbedaan yang cukup signifikan khususnya yang berkaitan dengan
pengadaan tanah skala kecil. Pada Perpres No. 71 tahun 2012 Pasal 121
disebutkan bahwa dalam rangka efisiensi dan efektivitas pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 hektar, instansi yang
memerlukan tanah dapat melakukan transaksi langsung dengan para pemegang hak
atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang
disepakati kedua belah pihak. Namun berdasarkan Perpres No. 40 tahun 2014,
besaran luas 1 hektar tadi diubah menjadi 5 (lima ) hektar. Nah, dalam kasus pembelian
lahan YKSW pada tanggal 17 Desember 2014 berlaku Perpres No. 40 tahun 2014
dimana lahan yang dibeli seluas 36.410 m2 sehingga dapat dilakukan secara
langsung antara Pemprov DKI dan para pemilik lahan YKSW.
Namun demikian, meski jual beli
secara langsung di atas dapat dibenarkan, Pemprov DKI seharusnya melibatkan
perusahaan jasa penilai tanah (appraisal) dan tidak hanya mendasarkan pada
penawaran penjual yaitu YKSW agar diperoleh harga yang baik atau sesuai dan
terhindar dari kerugian dimana YKSW masih terikat perjanjian Pengikatan Jual
Beli dengan PT Ciputra Karya Utama (CKU). Jika CKU dapat memperoleh harga hanya
sebesar Rp 15.500.000,00 per m2 atau total Rp 564.355.000.000,00 maka Pemprov
DKI juga seharusnya bisa mendapatkan harga sesuai dengan acuan serupa. Dengan demikian,
harga pembelian lahan YKSW oleh Pemprov DKI setidaknya sama atau tidak berbeda
jauh dengan harga pembelian yang dilakukan oleh CKU dimana rentang waktu
pembelian lahan YKSW oleh CKU dan Pemprov DKI kurang dari 1 tahun. Dengan dasar
inilah, BPK kemudian menghitung kerugian daerah sebesar selisih harga beli
Pemprov DKI dengan harga beli CKU yaitu sebesar Rp 191.334.550.000,00.
Artikel di atas merupakan
rangkuman yang dapat dibaca versi lengkapnya pada Majalah INFO Singkat Vol.
VIII No. 12/II/P3DI/Juni/2016 terbitan Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.