Dalam buku "Benturan NU-PKI 1948-1965" yang
disusun oleh Team PBNU tahun 2013, diceritakan rangkaian peristiwa panjang
sejak 1926 ketika PKI mulai melakukan pemberontakan, termasuk kejadian di Madiun
pada tahun 1948 yang banyak menelan korban jiwa dari kalangan ulama, kiai, dan
santri.
Daerah Madiun dan sekitarnya, seperti Pacitan, Trenggalek,
Tulungangung, Ngawi, Boyolali, Porwodadi, Bojonegoro hingga Pati, terus
melingkar sampai Magelang, Klaten, Solo, dan Wonogiri, merupakan basis
pengembangan PKI. Madiun menjadi titik pusat dari daerah itu sehingga aktivitas
PKI dipusatkan di sana
dengan disangga oleh daerah sekitarnya yang sudah sangat kuat komunisnya baik
karena sukarela atau karena dipaksa.
Dengan posisi strategis semacam itu maka Ibukota
RI , Yogyakarta ,
secara geografis telah terkepung oleh PKI. Selain itu, Madiun juga memiliki
posisi strategis untuk meloncat ke Yogyakarta
sebagai ibukota negara saat itu. Dengan demikian PKI bisa menguasasi Indonesia
dalam waktu cepat.
Dengan kerja yang keras dan sistematis, maka memasuki
tahun 1947 konsolidasi PKI sudah nyaris merata, kepengurusan partai sudah
menjangkau daerah pedalaman sehingga berbagai manuver sudah mulai mereka
lakukan.
Dengan semangat yang progresif dan revolusioner, PKI
berhasil merekrut berbagai kalangan, baik kalangan buruh, kalangan petani yang
dijanjikan tanah garapan, para birokrat, termasuk kalangan tentara. Para guru juga sudah mulai banyak dipengaruhi termasuk
PGRI. Kalangan para jagoan, baik dari kalangan warok, para pendekar, termasuk
para kelompok bajingan segera menjadi bagian penting dari PKI. Bahkan kelompok
terakhir itulah yang dijadikan kelompok pemukul lawan.
Untuk membuat kecemasan umum dan disintegrasi sosial, maka
PKI mulai melakukan teror dengan memunculkan berbagai perampokan disertai
pembunuhan. Jika tindak kriminalitas sebelumnya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, perampokan yang dilakukan saat ini dilakukan pada siang hari
secara terang-terangan. Para pelakunya juga
sudah dikenal oleh masyarakat. Mereka berani melakukan tindakan ini di siang
bolong karena merasa ada yang melindungi bahkan ada yang memerintahkan yaitu
PKI. Sasaran utama perampokan ini adalah para kiai, ulama atau ustadz, termasuk
aparat desa yang belum mau bergabung dengan mereka.
Di semua daerah basis PKI mulai dari Madiun sendiri, Tulungangung,
hingga Pati terjadi hal yang sama sehingga menimbulkan keresahan umum. Secara
kasat mata, kejadian itu terlihat seperti kriminalitas biasa, tetapi setelah
diselidiki oleh para pimpinan Ansor, jelas kelihatan bahwa para warok, pendekar
dan bajingan yang melakukan perampokan tersebut adalah anggota PKI yang
mendapatkan restu dari pimpinan partai setempat untuk melakukan teror massa.
Pada umunmya masyarakat sekitar mengenal siapa dari warga desa yang PKI dan
bukan sehingga dengan mudah mengidentifikasi siapa yang melakukan tindak
kejahatan.
Situasi makin kacau dan menakutkan. Tiap malam terjadi
perampokan dan pencurian disertai penganiayaan dan pembunuhan. Sasarannya orang
atau tokoh agama, tokoh Masjumi atau tokoh NU dan orang kaya yang sudah naik
haji. Dan kalau kebetulan punya anak gadis atau perawan, tidak segan-segan
diperkosanya. Orang-rang sudah tahu bahwa pelakunya adalah orang-orang PKI.
Bagi orang yang ingin selamat dari perampokan, pencurian dan penganiayaan, maka
harus menjauhi tokoh agama, Masyumi dan NU. PKI dan orang-orang komunis telah
menjadi monster yang menakutkan. Orang awam atau rakyat jelata atau yang
rumahnya terpencil di pelosok pedesaan merasa tidak aman dan tak terlindungi
oleh pemerintah. Mereka dipaksa bergabung dengan orang-orang PKI untuk
mendapatkan perlindungan. Sementara warga NU mulai meninggalkan tempat ke
daerah yang dianggap lebih aman.
Keresahan akibat ulah PKI telah sedemikian meluas, baik di
kalangan masyarakat umum, maupun ulama, terutama para kiai pimpinan pesentren
serta pejabat setempat yang bukan komunis. Untuk melindungi warga dan para
ulama dari tekanan pihak komunis itu maka para pimpinan NU sebagai organisasi
yang membawa faham Ahlussunnah Waljamaah serta berniat menjaga keutuhan
dan ketertiban NKRI, mulai melakukan langkah mencari solusi.
Untuk memberikan ketenangan pada umat dan mencegah
perluasan manuver PKI, maka pada tanggal 24 Mei 1947, NU menyelenggarakan
Muktamar ke-17 di kota
Madiun yang menjadi pusat kegiatan nasional PKI. Kehadiran jamaah NU terutama
para ulamanya itu memberikan kekuatan tersendiri, tidak hanya kepada umat Islam
tetapi juga kepada semua aparat negara baik kalangan birokrasi, kalangan
militer, termasuk kalangan muda dan pelajar yang menolak pengaruh dan teror
yang dilakukan PKI. Sejak dikeluarkannya seruan Kiai Hasyim Asy’ari, NU sangat
serius dengan mengkonsolidasikan seluruh potensi NU dan pesantren, termasuk
pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang ada di daerah itu untuk meningkatkan
keamanan warganya dan mempersiapkan mereka menghadapi berbagai ancaman yang
bakal terjadi. Kalangan muda NU yang saat itu terhimpun dalam barisan Hizbullah
dan Sabilillah yang belum lama ini terjun ke medan
perang melawan Sekutu di Surabaya
dan Ambarawa, mendapat tugas baru yaitu melindungi masyarakat dan aparat negara
dari ancaman kelompok komunis.
Kalangan aparat keamanan yang selama ini tercekam,
terutama dari kepolisian mulai berani menindak kelompok yang melakukan
pencurian dan perampokan. Kawanan perampok di Desa Bendungan, Kabupaten
Trenggalek, yang dianggap sebagai pusatnya PKI di kabupaten itu digerebek oleh
aparat kepolisian setempat. Ternyata para perampok itu terdiri dari para warok
dan bajingan PKI yang berasal dari berbagai daerah antara lain Ponorogo. Karena
itu tidak lama kemudian segerombolan warok dari Ponorogo dan para anggota PKI
setempat mengepung Kantor Dinas Kepolisian dan Kantor Kejaksaan Trenggelek,
menuntut dibebaskannya teman mereka yang ditahan. Tetapi Komandan Polisi Letnan
R. Rustamadji menolak tuntutan mereka yang kemudian menimbulkan perdebatan
sengit.
Aparat kepolisian semakin berani walaupun sudah dikepung
gerombolan warok PKI yang jumlahnya 150 orang, karena sebenarnya para warok itu
telah dikepung oleh aparat TNI dan pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Seandainya
PKI menyerbu kantor polisi, mereka akan dipukul oleh Hizbullah dan TNI.
Mengetahui gelagat itu akhirnya kawanan warok itu pergi dengan melontarkan
ancaman akan menyerbu dengan bala pasukan lebih banyak lagi. Ternyata ketika
dilawan mereka keder juga, terbukti mereka tidak kembali lagi. Tetapi berita
perampokan dan pencurian terus terjadi, sebagai cara PKI meneror warga dan
untuk mengumpulkan dana partai.
Sebagai puncak dari semua manuver dan provokasi tadi
adalah diselengarakannya rapat umum yang dihadiri langsung oleh Muso maupun
Amir Syarifuddin pada bulan Agustus tahun 1948 di beberapa tempat seperti
Madiun, Trenggalek dan juga di kota-kota lain di sekitar Jawa Timur dan Jawa Tengah,
sebagai strategi PKI untuk melakukan show of force terhadap kekuatan
mereka untuk menguasai Republik Indonesia. Semua tokoh PKI setempat dan daerah
serta dari CC-PKI hadir dalam rapat umum yang dihadiri puluhan ribu orang.
Tetapi bukan semuanya PKI, sebagian masyarakat desa yang tidak tahu-menahu
urusan politik dimobilisasi secara paksa oleh PKI. Mereka terpaksa mengikuti
kehendak PKI karena kalau mereka menolak jiwa mereka akan terancam. Dengan
demikian kekuatan PKI kelihatan sangat besar sehingga bisa menggetarkan lawan.
Sebagaimana disaksikan sendiri oleh KH. Yusuf Hasyim yang
saat itu sedang melakukan konsolidasi barisan kiai NU di kota
Madiun, melihat kota
itu sangat lengang, penduduk mulai menghindarkan diri bertemu dengan tertara
FDR-PKI terutama dari unsur Pesindo yang sangat agresif. Mereka berkeliaran ke
seluruh sudut kota
dan desa dengan seragam serba hitam dengan selendang merah bersenjata api atau
pedang, siap membunuh dan merampas siapa saja yang ditemui. Pasukan keamanan
baik tentara maupun polisi sendiri kelihatan sudah kewalahan mengatasi keadaan
sehingga kelompok PKI leluasa melakukan teror. Saat itulah para kiai yang
dikunjungi menyarankan agar KH. Yusuf Hasyim segera meninggalkan Madiun. Kiai
Yusuf Hasyim berhasil keluar dari Madiun dengan selamat, kemudian mendengar
kabar para kiai yang kemarin di kunjungi sudah menjadi syuhada dibantai oleh
PKI.
Dengan menguasai kota
itu, PKI mulai melumpuhkan pesantren dan membantai para kiainya. Setelah itu
berbagai perkampungan Islam mulai jadi sasaran seperti yang dialami beberapa
perkampungan muslim juga menjadi sasaran amukan FDR PKI. Hal itu dialami oleh
masyarakat Desa Bangsri dimana harta penduduk desa itu dirampas dan penduduknya
ditawan lalu dimasukkan ke dalam sumur-sumur tua. Korban mencapai belasan
orang, hanya beberapa yang bisa meloloskan diri. Berbagai tempat ibadah baik
langgar dan masjid mereka rusak dan dinodai, sebelum kemudian dibakar atau
jamaahnya ditangkap. Kekejaman seperti itu merata di daerah yang dikuasai
FDR-PKI, baik di Madiun maupun kota-kota lain di sekitarnya seperti Ponorogo,
Magetan, Ngawi, Pacitan, Trenggalek dan sebagainya.
Penculikan terhadap para pimpinan pesantren yang selama
ini aktif dalam perjuangan Kemerdekaan dimulai. Para
kiai yang mengajarkan agama dan cinta tanah air itu dianggap menghambat agenda
PKI, karena itu harus dimusnahkan. Sebagai contoh, KH. Imam Mursyid, pemimpin
Pesantren Sabilil Muttaqin, dan pemimpin Tarekat Syatariyah yang kharismatik
dari Takeran, mereka culik pada 17 September 1948, seusai sembahyang Jum’at.
Kiai itu terpaksa menyerah, sebab kalau melawan diancam pesantrennya akan
dibakar dan keluarganya dihabisi.
Pada sore dan malam harinya beberapa kiai lainnya juga
mengalami nasib yang sama. Para pejabat
pemerintah juga mereka culik dan dibunuh. PKI tahu bahwa selama ini pesantren
merupakan saingan kuatnya dalam melakukan revolusi sosial, karena pesantren
jauh lebih dipercaya ketimbang PKI yang hanya ditakuti. Karena itu untuk
mengawali revolusi sosialnya dengan melumpuhkan pesantren terlebih dahulu.
Penangkapan pada para pengasuh pesantren terus
dilanjutkan, maka pada 19 September 1948 KH Muhammad Nur ditangkap, ditangkap
pula kiai pesantren seperti Ustadz Ahmad Baidlowi, Muhammad Maidjo, Rofi’i
Tjiptomartono dan lain sebagainya. Mereka semuanya dibantai lalu dimasukkan ke
dalam sumur bersama ratusan korban lainnya. Keseluruhan kiai di lingkungan
pesantren Takeran yang menjadi korban berjumlah 14 orang. Karena jumlahnya
banyak mereka diikat menjadi satu sehingga mudah digiring ke lubang
pembantaian. Mereka tidak diikat dengan rantai melainkan dengan tali kulit
bambu yang sangat tajam sehingga bila mereka bergerak kulit mereka tersayat.
Pesantren lain seperti Pesantren Burikan juga dibakar oleh
FDR-PKI, sementara kiainya ditangkap seperti KH. Keang, KH. Malik dan Mulyono.
Semuanya dibantai dan dimasukkan ke dalam lubang pembantaian yang sudah mereka
siapkan. Harta benda mereka di rampas, berbagai kitab dibakar, sehingga santri
bubar menyelamatkan diri kembali ke kampung halaman masing-masing atau
mengungsi ke daerah lain. Hal itu membuat pesantren semakin sepi dan keluarga
pesantren tidak mendapat penjagaan yang ketat dari para santri. Penjagaan hanya
dilakukan oleh keluarga kiai dan tetangga terdekat sehingga posisi para kiai
sangat terancam.
Perburuan terhadap para ulama pimpinan pesantren terus
dilakukan sehingga seorang kiai yang pesantrennya berada jauh di luar Magetan
pun tak luput menjadi sasaran. KH. Imam Shafwan, pemimpin Pesantren Kebonsari
bersama kedua orang anaknya yaitu KH. Zubair dan KH. Abu Bawani yang sedang
memimpin pengajian juga dibantai oleh FDR-PKI.
Pada umumnya para kiai telah mempersiapkan diri dengan
ilmu kanuragan untuk membentengi diri dari serangan penjahat terutama
gerombolan PKI. Hal itu dialami oleh Kiai Imam Shofwan saat dianiaya PKI.
Ketika kedua anaknya telah tewas, sang kiai masih bertahan walaupun menghadapi
berbagai siksaan. Karena PKI sudah jengkel dan tidak sabar, lalu dimasukkan
hidup-hidup ke dalam sumur. Dalam kondisi terjepit itulah KH. Imam Shafwan
mengumandangkan adzan yang disaksikan oleh beberapa santrinya, tetapi kemudian
terkubur dalam keadaan masih hidup oleh pasukan Pesindo-PKI.
Peristiwa serupa dialami oleh KH. Soelaiman Zuhdi Affandi
ketika sedang i’tikaf di masjid, lalu tiba-tiba ditangkap oleh gerombolan PKI.
Setelah diseret keluar masjid lalu dimasukkan sebagai tahanan di Pabrik Gula
Gorang-Gareng. Setelah itu dipindahkan ke tempat tahanan lain di Magetan dengan
dinaikkan kereta api berjejal dengan tahanan lain. Setibanya di Desa Soco, para
tahanan termasuk KH. Soelaiman disiksa. Karena kiai ini juga seorang yang
digdaya maka tidak mudah dibunuh. Karena kejengkelannya lalu oleh PKI
dimasukkan ke dalam sumur tua dalam keadaan hidup-hidup.
Lain lagi dengan cerita yang dialami KH. Hamzah, saat
mendengar pemberontakan PKI di Madiun, kiai ini hendak pergi ke Magetan. Tetapi
ketika baru sampai di Desa Bathokan disergap PKI, kemudian di tahan beberapa
hari tanpa diberi makan baru setelah itu dikubur hidup-hidup.
Pendek kata semua pesantren besar kecil terutama yang
dipimpin oleh kiai kharismatik menjadi sasaran FDR-PKI. Pesantren Tegal Rejo
yang didirikan oleh para prajurit Pangeran Diponegoro di Magetan yang dipimpin
oleh Kiai Imam Mulyo tidak lepas dari serbuan PKI. Pada 18 September Pesantren
ini dikepung oleh pemberontak, tetapi Kiai Imam Mulyo terus bertahan dengan
para santrinya. Kepada para santri Kiai Imam Mulyo menasehati agar tidak
menyakiti PKI. Padahal saat itu PKI sudah mulai melempar dan menembaki
pesantren. Dengan kekuatan kerohanian disertai pekikan Allahu Akbar semua
kelompok yang hendak menyerbu pesantrennya itu bisa dilumpuhkan.
Pembantaian lain dilakukan gerombolan PKI pada jemaah Kiai
Zaenal Abidin. Untuk menjaga setiap kemungkinan, kiai beserta 25 orang
santrinya selalu berjaga di masjid hingga semalam suntuk, melakukan berbagai
riyadloh untuk keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia . Sudah lama gerombolan
pemberontak mengincar kiai beserta santrinya itu. Tetapi ketika sudah lama ditunggu
tidak mau keluar dari masjid, maka mereka diseret keluar secara paksa. Kemudian
mereka digiring disekap ke dalam sebuah rumah penduduk yang sudah kosong. Dalam
keadaan tersekap itu, rumah dibakar sehingga kiai beserta santrinya hangus
terbakar.
Tentu saja pemberontakan PKI ini sangat membahayakan terhadap
keselamatan republik yang baru dibangun ini. Negeri hasil proklamasi yang baru
berusia beberapa tahun yang masih harus melakukan perjuangan melawan tentara
sekutu dan agresi Belanda di berbagai front, harus menghadapi dua lawan
sekaligus : musuh dari dalam yaitu PKI dan dari luar yaitu Belanda beserta
tentara Sekutu. Ternyata kedua kekuatan yang selama ini bermusuhan menyatu
dalam menghadapi Republik Indonesia .
Front Demokrasi Rakyat (FDR) mendapat bantuan besar dari Belanda. Dalam
penggerebekannya terhadap Markas PKI dan Pesindo, tentara Hizbullah menemukan
berbagai amunisi dari Belanda dan ditemukan bendera Belanda di markas mereka.
Pemberontakan FDR itu juga difasilitasi Belanda sebagai
bentuk politik divide et impera (memecah belah) untuk melumpuhkan Indonesia dari dalam agar Belanda mudah untuk
merebut kembali Republik Indonesia
sebagai negara jajahannya. Pada hari Ahad 19 Desember 1948 ketika republik ini
menghadapi pemberontakan PKI, situasi kacau ini dimanfaatkan Belanda untuk
kembali melakukan agresi kedua dengan menduduki Ibu Kota RI, Yogyakarta, dan menangkap
Presiden Soekarno serta Wakil Presiden Muhammad Hatta. Dengan didudukinya Yogyakarta , maka satu persatu daerah strategis di Jawa
diduduki oleh Belanda. Tentara Indonesia
di bawah pimpinan Jenderal Sudirman dengan didukung pasukan Hizbullah dan
Sabilillah yang dipimpin KH. Masykur dan KH. Zainul Arifin dari NU terus
melakukan peperangan. Sebaliknya PKI Pesindo yang juga berambisi mengambil alih
kekuasaan dengan jalan pintas, tertarik dengan agenda Belanda itu, karena
itu mereka melakukan pemberontakan pada saat bangsa ini sedang melakukan
revolusi nasional.
Dengan didudukinya Jogya oleh Belanda maka perang gerilya dilanjutkan
di berbagai daearah, termasuk daerah yang sealama ini menjadi basis PKI seperti
Madiun, Ponorogo dan Trenggalek. Bahkan Jenderal Sudirman sebagai pemimpin
tertinggi TNI melakukan serangan pada Belanda dengan mengambil basis di Trenggalek.
Kemudian pimpinan kesatuan militer yang lain yaitu KH. Masykur, Komandan
Sabilillah yang juga ketua PBNU itu melakukan gerilya di Trenggalek bersama
Jenderal Sudirman. Persatuan TNI-Sabilillah inilah yang mampu menghadang laju agresi
Belanda dan sekaligus mampu membendung gerakan sisa-sisa PKI yang masih
berkeliaran di kawasan Selatan Jawa itu.