Dalam buku "Soekarno Poenja
Tjerita" karya @SejarahRI yang diterbitkan oleh Penerbit Bentang tahun
2016, diceritakan tentang kisah pembuatan Patung Dirgantara atau yang kini
lebih populer dengan sebutan Patung Pancoran.
Patung tersebut dibuat oleh salah
satu seniman Indonesia
di masa Soekarno yaitu Edhi Sunarso yang merupakan pematung kesayangan Bung
Karno. Ia pula yang ditunjuk membuat Patung Selamat Datang di Bundaran HI.
Melihat keberhasilan Edhi dalam membuat Patung Selamat Datang, Bung Karno pun
ketagihan dan terpikir untuk membuat Patung Pancoran dengan menunjuk kembali
Edhi sebagai pematungnya.
Edhi sempat ragu menerima order
dari Soekarno untuk mengerjakan Patung Pancoran karena ia belum pernah sama sekali
membuat patung dari bahan perunggu, sedangkan keinginan Soekarno waktu itu
jelas, agar Patung Pancoran dibuat dari bahan perunggu. Akan tetapi, bukan Bung
Karno jika tidak bisa mengobarkan semangat orang. Dalam tempo singkat, Soekarno
berhasil meyakinkan Edhi untuk menerima tawaran tersebut.
Bentuk dan gaya melambaikan tangan Patung Dirgantara
diperagakan langsung oleh Soekarno di depan Edhi. Dengan simbol itu, Bung Karno
ingin menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia dalam bidang dirgantara.
Penyelesaian Patung Dirgantara
sempat nyaris gagal ketika terjadi tragedi G30S 1965. Klimaksnya terjadi ketika
MPRS menolak pertanggungjawaban Soekarno sehingga nasib Patung Dirgantara ikut
terombang-ambing. Dalam statusnya sebagai tahanan politik dan dengan kondisi
kesehatannya yang makin menurun, ia tetap nekad untuk menuntaskan proyeknya
itu. Belakangan diketahui bahwa dana yang digunakan untuk menyelesaikan proyek
Patung Dirgantara itu berasal dari hasil penjualan mobil pribadi Bung Karno.
Minggu, 21 Juni 1970, saat Edhi
sedang berada di puncak Patung Dirgantara untuk menyelesaikan pengerjaannya,
tiba-tiba di bawahnya melintas iring-iringan mobil jenazah. Salah seorang
pekerjanya memberi tahu Edhi bahwa yang barusan lewat adalah iring-iringan
mobil jenazah Bung Karno, sang penggagas Patung Dirgantara. Mendengar berita
itu, lemas lunglailah Edhi. Air matanya menetes menahan kesedihan.
Sekalipun tidak pernah diresmikan
oleh pemerintahan pengganti Soekarno namun keberadaannya masih diakui sampai
sekarang. Patung Dirgantara dibangun di atas bundaran jalan di Pancoran,
berdekatan dengan Markas Besar Angkatan Udara
RI . Posisi patung membelakangi
Jalan Raya Pasar Minggu sedangkan arah muka patung menghadap ke utara yang
menunjukkan bahwa arah patung-patung monumen gagasan Soekarno umumnya menghadap
ke arah Istana Presiden sebagai pusat kekuasaan tertinggi negara.
Menurut Dianthus Louisa
Pattiasina dalam Jurnal Ilmiah Widya Volume 2 Nomor 1 Maret-April 2014, Patung
Dirgantara ditampilkan dalam sosok atau figur laki-laki tanpa baju dengan
seuntai kain terjuntai di bagian bahu dan pinggul yang tampak seolah tertiup
angin. Ekspresi wajahnya keras, mulut mengatup, tatapan matanya tajam lurus ke
depan. Otot-otot seluruh tubuhnya ditonjolkan secara berlebihan dari wajah sampai
bagian kaki. Posisi kaki seolah sedang mengambil ancang-ancang. Tangan kanan
menjulur ke depan sedangkan tangan kiri ditarik ke belakang. Gestur sosok
demikian menjadi terbaca sebagai gerak melaju atau melesat menuju angkasa.
Sosok patung terletak di atas pedestal melengkung sehingga memberi efek
dinamika gerak laju dari gestur patung tersebut.