Menelusuri jejak para
"pelaku" langsung di lapangan saat penculikan para jendral korban peristiwa G30S menjadi
sangat penting untuk mencoba mencari sisi detail dalam menguak cerita yang
sebenarnya di balik tragedi yang memilukan tersebut. Salah satu pelaku langsung yang saat itu ditugasi "menjemput" Jendral S. Parman adalah Buntoro.
Dalam buku "30 September ; Pelaku, Pahlawan dan Petualang" karya Julius Pour terbitan tahun 2010 sempat
disinggung tentang keberadaan Kopral Buntoro sebagai anggota Yon I/Tjakrabirawa
yang terlibat dalam G30S 1965. Buntoro adalah perwira kelahiran Kudus, Jawa
Tengah, yang lulus pendidikan militer di Magelang pada tahun 1958. Awalnya,
Buntoro merupakan anggota Batalyon 450/Diponegoro sebelum akhirnya dipindahkan
ke Resimen Tjakrabirawa.
5 (lima) hari menjelang tanggal 5
Oktober 1965 (HUT ABRI), Buntoro mendapat briefing dari Komandan Kompi, Kapten
(Inf) Soewarno, mengenai sikap Tjakrabirawa dalam menghadapi berita Dewan
Jenderal yang diduga akan melakukan kudeta kepada Presiden Soekarno. Peristiwa
inilah yang kemudian menyeret Buntoro pada pusaran peristiwa G30S 1965.
Briefing terakhir dilakukan pada
pukul 01.00 WIB tanggal 01 Oktober 1965 dimana mereka diminta untuk
"mengambil" para anggota dewan Jenderal guna dimintai keterangan
serta tanggung jawab dengan menghadapkan kepada Soekarno. Yang salah diadili
dan yang tidak salah dilepas. Dengan instruksi itu, Buntoro memahami bahwa
bahwa sasaran harus "diambil" dalam kondisi hidup. Pukul 02.00 WIB,
Buntoro dengan rekan sesama pasukannya di bawah komando Sersan Mayor Satar,
mulai bergerak menuju sasaran yang sudah ditentukan yaitu Jendral S. Parman di
kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Buntoro, operasi berjalan
dengan sukses karena mereka berhasil membawa Jendral S. Parman tanpa adanya
perlawanan dan pertumpahan darah. Meski hanya memakai piyama, Jendral Parman
dibawa dan tiba di Lubang Buaya pada pukul 03.40 WIB. Oleh Satar, Jendral S. Parman
diserahkan kepada Letnan Kolonel Untung. Buntoro lalu beristirahat sembari
menunggu perintah selanjutnya. Ada
yang mencari kopi, ada yang mencari makanan kecil, dan sebagainya. Namun mereka
terkejut ketika sekitar pukul 05.30 WIB tiba-tiba terdengar rentetan suara
tembakan. Semakin bertambah kaget ketika Sersan Mayor Satar
mengatakan bahwa Jendral Parman dan sejumlah jendral lainnya ditembak oleh
sekelompok orang tidak dikenal, lalu jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur. Juga
disebutkan bahwa tidak ada reaksi apapun dari Untung melihat penembakan tersebut.
(Dalam buku "Untung, Cakrabirawa, dan G30S" karya Petrik Matanasi
tahun 2011, disebutkan bahwa Jendral S. Parman ditembak oleh Prajurit Satu
Athanius Buang).
Buntoro kemudian mengambil
kesimpulan bahwa ia dan rekan-rekannya telah tertipu. Untung telah melakukan
kesalahan besar dalam operasi rahasia itu dimana eksekusi terhadap para jendral
menyebabkan skenario awal G30S menjadi "berantakan" dan menyambar ke
segala arah.
Mengetahui dirinya ditipu,
Buntoro dan teman-temannya langsung mencari Untung namun tidak ketemu karena
menurut informasi, ia bersama Sjam Kamaruzzaman telah meninggalkan tempat
secara diam-diam. Mereka lalu terus mengejar sampai di Brebes tanggal 3 Oktober
1965 dan menginap di Pendopo Kabupaten. Tanggal 4 Oktober, Buntoro diperintah oleh
Jendral Sabur, Komandan Tjakrabirawa, agar segera kembali ke induk pasukan. Ia
pun akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta .