Pengurus IA-ITB wabil khusus
Panitia Kongres IX telah menunaikan agenda besar yaitu Pemilu Ketua Umum IA-ITB
2016-2020 dimana acara puncaknya telah diselenggarakan pada tanggal 23 Januari 2016
di Bandung.
Sebagai bagian dari keluarga
besar alumni di wilayah Kepualaun Riau, saya ikut menghadiri secara langsung
acara Hearing Bersama Kandidat Ketua Umum IA-ITB 2016-2020 di kota Batam, tempat dimana saat ini saya
tinggal. Beruntung sekali bisa ikut menyaksikan ke-4 kandidat menyampaikan visi
dan misinya dalam rangka menuju masa depan IA-ITB yang lebih baik karena
rupanya hanya ada 5 (lima ) kota
yang ditunjuk sebagai tuan rumah hearing yaitu Batam, Makassar, Jakarta , Balikpapan , dan Bandung .
Tulisan ini hanya sekedar sebagai
otokritik kepada organisasi dimana saya menjadi salah satu diantara ribuan
anggota di dalamnya. Pendapat saya ini murni merupakan pendapat pribadi dan
tidak ada motif politik apapun pasca terpilihnya salah satu kandidat yang
berasal dari kalangan birokrat itu. Sebagai bagian dari alumni, saya tergerak
untuk mengkritisi produk hasil pemilu kali ini. Gagasan yang saya tuangkan
semoga dapat dipertimbangkan sebagai masukan konstruktif bagi kepengurusan saat
ini guna menghadapi gawean sejenis di tahun 2020 mendatang.
Ketua IA-ITB ke Depan ; Lebih
Baik dari Kalangan Birokrat atau Professional ?
Dari keempat kandidat yang maju
dalam Pemilu Ketua Umum IA-ITB periode 2016-2020, 2 (dua) diantaranya
berasal dari latar belakang birokrat (satu di pemerintah pusat dan satu lagi di
pemerintah daerah), sedangkan 2 (dua) sisanya lagi berasal dari kalangan
pebisnis alias professional. Apakah yang terpilih sekarang terbukti dapat
bersikap independen ?. Meskipun tentu saja tidak akan ada pilihan yang sempurna
dalam kasus ini, namun saya memiliki keyakinan bahwa pilihan yang terbaik dari
yang ada adalah figur yang berasal dari non birokrat.
Dari hasil hearing, hampir semua
kandidat memiliki keseragaman pendapat mengenai masih belum optimalnya peran
IA-ITB baik secara internal maupun dalam menyikapi persoalan bangsa. Dan PR itu
memang seharusnya menjadi catatan penting. Jika melihat berbagai issue-issue
politik, ekonomi, dan sosial yang kerap muncul di era pemerintahaan saat ini,
sudah seharusnya IA-ITB dapat “memunculkan” dirinya sebagai organisasi
independen yang dapat memberikan solusi atas permasalahan tersebut, bukan malah
misalkan berlindung diri atau tidak tahu menahu. Dan memang ini yang agak
dikhawatirkan sebenarnya jika peran IA-ITB terreduksi oleh kepentingan
pragmatis. Di satu sisi, IA diperlukan untuk memperkuat kelembagaan dan
kemanfaatan untuk semua alumni, namun apabila bersinggungan dengan elit atau
pejabat pemerintah dimana di situ ada alumni yang menjabat, maka bisa saja
menyebabkan suara kritis kepada pemerintah menjadi sulit untuk diwujudkan.
Sama saja dengan kejadian dimana
ada aktivis mahasiswa yang secara lantang menyuarakan kekritisannya kepada
penguasa, namun di saat lain, ketika ia masuk dalam elit kekuasaan itu sendiri,
ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Begitu juga dengan kejadian terkini tentang
pencabutan moratorium reklamasi Jakarta
dimana Luhut Binsar Panjaitan selaku Menko Kemaritiman membuat pernyataan
seolah-olah Alumni ITB mendukung kebijakannya hanya karena deputinya adalah
juga menjabat sebagai Ketua Umum IA-ITB. Begitu juga soal pembacokan
Hermansyah, ahli IT jebolan Teknik Fisika 89 ITB yang menjadi korban kebiadaban
manusia-manusia tak berotak, namun beritanya mandek dan terkesan tidak ada
pressure dari Alumni ITB agar kepolisian dan pemerintah segera melakukan
langkah hukum selanjutnya pasca ditangkapnya para tersangka pelaku pembacokan.
Terkesan sekali bahwa suara organisasi ini lemah dan cenderung hanya bersikap
pasif dan pasrah dengan menyerahkan kasus ini kepada pihak kepolisian.
Di sinilah menjadi tantangan
tersendiri bagi Ketua Umum IA terpilih beserta jajaran pengurusnya,
bagaimana agar eksistensi IA-ITB sebagai lembaga yang independen mampu
menyuarakan aspirasi kritisnya kepada pemerintah. Kalau hanya sekedar
membesarkan organisasi ini demi kesejahteraan alumni, itu sudah menjadi patron
umum yang pasti sudah lazim dipakai oleh berbagai organisasi alumni almamater
dimana-mana, namun menjadikan organisasi ini sebagai corong suara rakyat dan
alumni terhadap kebijakan dan kesewenangan pemerintah, tentu menjadi perkara
yang sulit. Apakah kemudian "budaya" lebih memilih birokrat akan terus berlanjut
dalam pemilihan Ketua IA-ITB di tahun-tahun mendatang ?. Bisa jadi iya, dengan konsekuensi sulitnya menjaga independensi organisasi
ini terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat atau alumni itu
sendiri. Contohnya sudah ada, jadi bisa kita simpulkan sendiri.