Meskipun dulu pernah mengalami kehidupan ibu kota
yang sangat keras, namun di awal kedatangan saya yang kedua dari Februari sd November 2016 lalu, saya tetap mengalami shock of culture. Banyak
sekali sisi kehidupan di Jakarta
yang dapat kita lihat sehari-hari, yang mengungkapkan berbagai macam pahit
getirnya kehidupan manusia di dalamnya. Namun di balik itu ada juga sosok manusia
yang dapat memberikan pembelajaran dan motivasi tentang bagaimana
kita harus mampu bertahan dalam situasi yang sulit.
Pada hari Sabtu pagi, 13 Februari
2016, saya beranjak dari kost-an di bilangan Tebet Barat Dalam sekitar pukul
07.00 WIB bersama rekan eks kantor yang menumpang sehari bermalam di kost. Dia hendak
menuju bandar udara Halim dalam perjalanan kembali ke Surabaya
setelah mengikuti rapat kerja di Jakarta
sekitar 2 (dua) hari. Setelah mengantar beliau sampai depan jalan besar untuk
men-carter taxi Blue Bird, saya lalu melanjutkan perjalanan sendiri ke arah
Cikokol untuk suatu keperluan.
Dengan mengambil rute yang
disarankan oleh kawan, akhirnya saya naik bus di pertengahan perjalanan, tepatnya
bus AC jurusan Bekasi – Tangerang. Rencananya saya akan turun di Tangcity Mall
untuk selanjutnya berjalan kaki menuju lokasi janjian dengan kawan kantor.
Saat bus berhenti sebentar di
bilangan Jakarta Barat (lupa lokasinya), naiklah seorang ibu berjilbab sekira
umur 45 - 50 tahun yang kemudian duduk di samping saya. Rupanya ibu itu
memiliki kekurangan fisik berupa hilangnya indera penglihatan alias tuna netra.
Saya berfikir, mengapa ia hanya bepergian seorang diri tanpa ditemani oleh
suami, anak, kerabat, atau siapa saja yang sudah dikenalnya. Bepergian seorang
diri dengan kekurangan penglihatan dan di tengah-tengah hiruk-pikuknya Jakarta yang serba keras
dan tak kenal kompromi tentunya menjadi penghalang yang serius. Saya sendiri
sebagai orang yang masih dikarunia panca indera yang lengkap, kadang masih merasa
was-was dan khawatir dengan keselamatan diri saat bepergian.
Saya -yang tadinya tidak begitu
tertarik menggali latar belakang ibu Aisyah ini- mencoba memberanikan diri untuk
melakukan fact finding, sekedar ingin tahu apa yang terjadi sehingga ia
harus berperjalanan seorang diri. Rupanya ibu Aisyah ini harus berjuang menjadi
single parent bagi dua atau tiga (saya tak begitu jelas) anaknya. Itu
terjadi sejak suaminya memutuskan meninggalkan rumah dan tinggal di kota Bogor
sejak tahun 2009. Ia memang terlihat sedikit emosional ketika mengatakan bahwa
suaminya itu seolah meninggalkan keluarganya begitu saja tanpa memberikan nafkah
dan biaya pendidikan anaknya. Entahlah apa reaksi Anda jika mendengar pertama
kali kisah ini, tapi bagi saya, awal cerita ini sudah menyuguhkan sajian yang
menyayat hati. Saya juga coba tanya, apakah ia tinggal dengan anak-anaknya. Ia
bilang, anak pertamanya ikut keponakan belajar bekerja, artinya belum jelas
masa depan anak tersebut. Anak kedua dikatakan disuruhnya untuk ikut yayasan,
mungkin semacam yayasan Islam, agar ia bisa terjaga agamanya dan juga agar
hidup mandiri. Tapi rupanya keinginannya ditentang anaknya. Mungkin anaknya itu
sendiri bukan tipe yang suka hidup di lingkungan terbatas dan tidak suka diatur
sedemikian rupa sehingga menghambat kebebasan bermainnya.
Inilah salah satu episode
kehidupan dari seorang ibu, diantara berjuta-juta episode kehidupan yang
berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga yang lain. Perih
mendengarnya, meski ibu Aisyah mengutarakannya dengan mimik biasa saja, tidak
ada air mata kesedihan yang terlihat. Mungkin ia hanya akan mengeluarkan air
mata dan menangis saat di keheningan malam ketika bersujud di hadapan-Nya, menumpahkan
segala permasalahan dan persoalan hidup yang cukup pelik dan membelitnya
terus-menerus.
Ibu Aisyah ini boleh dibilang sosok
yang sangat tegar dan kuat menghadapi keras dan pahitnya kehidupan. Terbukti ia
masih mampu dan bisa meluangkan waktu di sela-sela profesinya sebagai tukang
pijit tunanetra untuk belajar mengaji Qur’an di Pondok Cabe, bukan di lokasinya
dia tinggal di Kebon Nanas (saya sendiri tak faham, seberapa jauh dan seberapa
rumitnya perjalanan dari situ ke Pondok Cabe). Ketika saya tanya, mengapa
ngaji-nya tidak di Kebon Nanas saja yang dekat dengan rumah ?. Ibu itu bilang
karena sistem ngajinya lebih enak di Pondok Cabe karena ada ustadz yang
memantaunya dan memandunya secara langsung, sedangkan di Kebon Nanas belum
ditemukan guru ngaji yang seperti ia harapkan. Ia biasanya berangkat ke Pondok
Cabe di hari Jum’at, lalu kembali ke rumahnya lagi di hari Sabtu. Makanya saya dapat
berjumpa dengan ibu ini di hari Sabtu, saat ia menaiki bus yang sama dengan bus
yang saya naiki.
Ia tetap seorang ibu, sama dengan
ibu Anda-Anda semua, yang tentunya sedapat mungkin dihormati dan dilayani,
diantar kemana ia mau pergi. Ibu Aisyah, seorang figur ibu dengan keterbatasan
fisik yang menyulitkan geraknya namun semangat hidup dan niat belajar agamanya
patut diacungi jempol. Bisa jadi sangat jauh dengan kita yang masih dikaruniai
panca indera yang sempurna, keluarga yang lengkap, dan rizki yang berlebih,
namun belum mampu mensyukuri segala nikmat-Nya dengan benar.