Pada tahun 1969 ketika situasi
keamanan dan ketertiban nasional sudah dirasa stabil pasca peristiwa G30S 1965,
Presiden Soeharto menyerahkan jabatan Menhankam/Pangab kepada Jenderal M.
Panggabean yang berhasil menjabat dalam kurun waktu lama.
Ketika pada masanya, Panggabean
sudah harus diganti, muncul beberapa nama yang dirasa cocok, seperti Jenderal
TNI Surono, Jenderal TNI Umar Wirahadikusumah, dan Jenderal TNI Widodo. Namun
muncul kejutan ketika Presiden Soeharto mengumumkan nama-nama personil Kabinet
Pembangunan III. Salah satunya adalah penunjukkan Jenderal TNI M. Jusuf sebagai
Menhankam/Pangab dimana pangkatnya dinaikkan menjadi jenderal bintang empat.
Penunjukkan Jenderal M. Yusuf
tentu bukan tanpa alasan. Soeharto menginginkan orang luar Jawa yang dapat
dipercaya dan tidak mungkin akan menggeser kedudukannya sebagai presiden.
Sebagai orang Makassar , M. Yusuf dipandang
memiliki peluang yang tipis untuk menggoyang kedudukan Soeharto. Namun hanya
selang 5 (lima )
tahun, apa yang nampaknya tak mungkin menjadi mungkin terjadi. Popularitas M.
Yusuf terus meroket secara konsisten. Jika pada waktu itu Indonesia sudah mengenal pemilihan presiden
secara langsung, maka kans
M. Yusuf untuk menang sangat besar. Sesuatu yang jelas tidak disukai Presiden
Soeharto.
Muncul kabar burung yang
mengatakan bahwa M. Yusuf sedang menggalang dukungan untuk menggantikan
Soeharto sebagai presiden. Simpati yang diraih M. Yusuf tidak saja berasal dari
kalangan tentara namun juga dari masyarakat sipil. Jenderal M. Yusuf menuai
pujian dari berbagai kalangan. Maka dibuatlah inisiatif dari Presiden Soeharto
untuk "menegur" Jenderal M. Yusuf dalam sebuah rapat bersama di
kediaman Soeharto di Cendana. Yang hadir waktu itu antara lain Mensesneg
Sudharmono, Sekkab Moerdiono, Asintel Hankam Letjen LB. Moerdani, Mendagri
Amirmachmud, dan Menhankam/Pangab Jenderal M. Yusuf.
Mendagri Amirmachmud berbicara
dengan nada menyindir bahwa ada suara-suara yang mengatakan bahwa dengan semakin
populernya Jenderal M. Yusuf maka diduga ada "ambisi-ambisi tertentu"
dari Jenderal M. Yusuf yang perlu ditanyakan kepada yang bersangkutan.
Tiba-tiba Jenderal M. Yusuf marah
dan menggebrak meja dengan tangannya. Dengan suara keras ia berkata, "Bohong
!. Itu tidak benar semua !. Saya ini diminta untuk jadi Menhankam/Pangab karena
perintah Bapak Presiden. Saya ini orang Bugis, jadi saya sendiri tidak tahu
arti kata kemanunggalan yang bahasa
Jawa itu. Tapi saya laksanakan perintah itu sebaik-baiknya tanpa tujuan apa-apa
!".
Semua yang hadir waktu itu
terdiam. Belum pernah ada orang yang berani menggebrak meja di hadapan Presiden
Soeharto dalam kondisi apa pun. Adalah Presiden Soeharto sendiri yang kemudian
berusaha memecahkan kekakuan saat itu. Dengan dana dalam ia berkata,
"Sudah, sudah !. Karena suasana tidak memungkinkan lagi, rapat kita akhiri
sampai sekian saja. Nanti pada waktu yang tepat, kita akan panggil lagi".
Sejak saat itulah, hubungan
antara M. Yusuf dan Soeharto menjadi renggang. Hingga berhenti dari jabatan
kenegaraan yang terakhir pada tahun 1993, M. Yusuf tidak pernah mengunjungi
Presiden Soeharto di setiap hari raya Idul Fitri, walaupun kedua-duanya tinggal
di kawasan Menteng selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun.
Kisah di atas dapat Anda baca
dalam sebuah buku berjudul "Sintong & Prabowo : Dari 'Kudeta' L.B.
Moerdani sampai 'Kudeta' Prabowo" karya A. Pambudi, terbitan MedPress
tahun 2009.