Pernah ditemui sebuah kejadian
dimana ada sepasang orang tua bayi dibuat panik manakala menjumpai bayinya yang belum genap
berusia 1 (satu) bulan mengalami kemerahan pada sekujur kulitnya. Orang tua
sang bayi pun sudah berobat ke dokter spesialis anak, namun belum membawa hasil
yang menggembirakan.
Setelah dibawa ke rumah sakit
besar di daerahnya dengan disertai pemeriksaan mendalam, baru kemudian
diperoleh analisa bahwa bayi tersebut mengalami alergi susu sapi. Dokter lantas
menyarankan agar susu formula yang biasa dikonsumsi sang bayi diganti dengan
merk lain yang proses pembuatannya tidak menimbulkan risiko alergi atau hipoalergenik. Meskipun harganya lebih
mahal karena masih berupa produk impor, penggunaan susu formula yang tepat
dapat menghilangkan kemerahan dan kaku pada kulit bayi akibat alergi. Disamping
itu perlu dihindari makanan yang berpotensi mencetuskan alergi seperti sea food atau telor.
Apa yang terjadi pada sang bayi
di atas membuktikan bahwa alergi bukanlah monopoli orang dewasa. Bayi pun bisa
mengalami hal yang sama. Penanganan juga harus cepat dilakukan karena jika
terlambat dapat mengakibatkan keterlambatan pada perkembangan kecerdasan bayi.
Alergi susu sapi biasanya terjadi
karena fungsi saluran pencernaan yang belum sempurna sehingga protein dalam
susu sapi tidak dapat dipecah dengan baik. Namun umumnya alergi susu sapi akan
hilang dengan sendirinya sejalan dengan bertambahnya usia bayi. Jika fungsi
pencernaan sudah matang, susu sapi akan dapat dicerna dengan baik.
Meskipun dapat juga disebabkan
oleh faktor lingkungan namun faktor genetik lebih berperan dalam mencetuskan
alergi pada bayi. Artinya, bila salah satu dari orang tua bayi mengidap alergi
maka sang bayi juga akan berisiko mengalami hal yang sama. Risiko ini semakin
tinggi apabila kedua orang tua memiliki riwayat alergi yang sama. Bahkan jika
ayah, ibu, dan saudara kandung dari keduanya memiliki riwayat alergi maka
kemungkinan sang bayi menderita hal yang sama mencapai 80%.