Serma (Sersan Mayor) Boengkoes
adalah salah satu nama penting yang tidak dapat dipisahkan dalam detik-detik
peristiwa berdarah G30S 1965. Ia adalah salah satu pelaku langsung tragedi G30S
dimana pria berdarah Madura ini ditugaskan untuk "menjemput" Mayor
Jenderal MT Haryono, Deputi III Menteri/Panglima AD.
Nasib yang mengubah jalan cerita
Boengkoes terjadi ketika dalam peristiwa G30S 1965, ia secara resmi telah
bergabung dalam Resimen Khusus Tjakrabirawa yang dibentuk sebagai suatu resimen
khusus di bawah Presiden dan diberi tanggung jawab penuh guna menjaga
keselamatan pribadi Presiden. Pembentukan Resimen Tjakrabirawa ini merupakan
respons strategis atas upaya pembunuhan terhadap Presiden Soekarno pada tanggal
14 Mei 1962 saat melakukan sholat Iedul Adha di Masjid Baiturrahman, Kompleks
Istana Merdeka, Jakarta.
Jauh sebelum itu, Bongkoes
mengawali karier kemiliterannya saat bergabung dalam Batalyon "Semut
Merah" di Situbondo. Setelah pasukan "Semut Merah" dihancurkan
Belanda, ia kemudian bergabung dengan Batalyon "Andjing Laut" di
Bondowoso, dimana di sana
ia bertemu dengan Doel Arief yang kelak saat operasi G30S 1965 adalah atasan
Boengkoes.
Selanjutnya, seluruh personil
"Andjing Laut" bergabung dengan Divisi Diponegoro di Salatiga dimana
nomor batalyon diubah dari 701 menjadi 448. Nama "Andjing Laut" masih
dipertahankan yang kemudian menjadi bagian dari Brigade Infanteri. Secara
mengejutkan, Boengkoes bertemu kembali dengan Doel Arief yang menjadi
komandannya waktu itu.
Karena tergabung dalam Brigade
Infanteri, Boengkoes disekolahkan ke Sekolah Kader Infanteri. Setelah itu ia
dipindah ke Cadangan Umum di Salatiga yaitu Pasukan Garuda I dan II yang baru
pulang dari Kongo. Ketika bergabung di Cadangan Umum inilah, Boengkoes direkrut
masuk Banteng Raiders I di Magelang yang kemudian berlanjut dengan perekrutan
dirinya sebagai pasukan Tjakrabirawa. Apabila Serma Boengkoes tidak jadi
bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, mungkin kisah perjalanan hidupnya tidak
akan "senaas" yang dialaminya saat peristiwa G30S 1965. Ia sendiri
pernah menceritakan bahwa ketika mengikuti seleksi Tjakrabirawa, ia mengaku
tengah menderita wasir dan disentri sehingga sesaat setelah mengikuti test
kesehatan, ia langsung meninggalkan rumah sakit militer di Semarang . Namun, ajaib, keesokan harinya, ia
diberi tahu bahwa ia dinyatakan lulus test.
Sebelum melakukan
"penjemputan" terhadap Mayjend MT Haryono, ia telah mengikuti
"briefing" pada tanggal 30 September 1965 pukul 15.00 WIB dimana
dalam briefing tersebut dikatakan akan ada sekelompok jenderal yang tergabung
dalam "Dewan Jenderal" yang akan melakukan "coup" kepada
Presiden Soekarno.
Sebagai manusia biasa, sebenarnya
dalam hati Boengkoes muncul "pertentangan" batin saat tiba di
kediaman MT Haryono, antara melanjutkan operasinya atau tidak. Namun karena
terikat sumpah jabatan prajurit, ia terpaksa harus mengikuti perintah
atasannya, yaitu Doel Arief. Tenggang waktu "penjemputan" pun
terbilang sangat singkat, antara 15 - 20 menit, tidak dihitung waktu
keberangkatan. Saat Boengkoes mengetuk pintu dan meminta ijin untuk masuk,
tidak ada reaksi dari penghuni rumah. Pintu dan jendela semua dikunci dari
dalam dan keadaan sangat gelap akibat semua lampu dimatikan oleh pemilik rumah
saat kebiasaan tidur.
Akhirnya didobraklah pintu itu
dan Boengkoes sekilas melihat kelebatan "bayangan putih" sehingga
secara refleks, ia menarik pelatuk dan terjadilah penembakan itu. Pada sekitar
pukul 05.30 WIB tanggal 1 Oktober 1965, Boengkoes beserta pasukannya sudah tiba
di tempat semula. Baru ketika matahari sudah mulai beranjak naik (sekitar pukul
08.30 pagi), dilakukanlah eksekusi terhadap para jenderal lain yang masih
hidup. Malam harinya, ia dipindahkan ke suatu tempat, dan pada tanggal 2
Oktober 1965, Boengkoes pulang ke asrama, namun kemudian ditangkap dan dibawa
ke suatu tempat lain, yang ternyata adalah LP Cipinang (kelak dibebaskan dari
penjara pada tanggal 25 Maret 1999).
Boengkoes ketika mengetahui cerita sebenarnya terkait G30S 1965 mengatakan sangat menyesal. Bahkan ketika keluar dari penjara pun, ia bertanya-tanya apakah nanti dapat diterima lagi oleh masyarakat atau tidak.
Boengkoes ketika mengetahui cerita sebenarnya terkait G30S 1965 mengatakan sangat menyesal. Bahkan ketika keluar dari penjara pun, ia bertanya-tanya apakah nanti dapat diterima lagi oleh masyarakat atau tidak.
Dengan adanya alur cerita di
atas, sangat kecil kemungkinan Serma Boengkoes adalah anggota atau kader PKI.
Ia hanya seorang prajurit TNI yang berupaya untuk menjalankan perintah atasan
dan mematuhi sumpah prajurit, demi kepentingan bangsa dan negara, apalagi
menyangkut hidup matinya presiden yang menjadi tanggung jawabnya sebagai
anggota Resimen Tjakrabirawa. Serma Bongkoes hanya "bernasib tidak
baik" karena pada saat G30S 1965, ia berhasil "diperalat" oleh
"kepentingan" lain yang jauh lebih besar.
(Dari berbagai sumber).