Menurut Drs. Andi Suwirta, M.Hum,
staf pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS, Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI), sedikitnya terdapat 5 (lima) versi tentang dalang di balik peristiwa
G30S 1965 [Historia : Jurnal Pendidikan Sejarah, No. 1, 2000].
Versi Pertama
Menurut versi pertama, dalang
dari peristiwa G30S 1965 yang ditandai dengan pembunuhan para Jenderal TNIA AD
adalah PKI. Dengan menyebar isue adanya Dewan Jendral yang akan melakukan coup
terhadap Presiden Soekarno, PKI berhasil membujuk para perwira menengah TNI AD
yang dinilai "kiri" untuk menculik para jenderal itu. Dengan cara
itu, PKI bisa melakukan "lempar batu sembunyi tangan" sehingga pada
gilirannya, PKI dapat menguasai Indonesia
dan menggantikan ideologi Pancasila dengan komunisme. Selama 30 tahun, dunia pendidikan
di Indonesia
didominasi oleh interpretasi versi pemerintah Orde Baru ini yang mempopulerkan
peristiwa tersebut dengan "G30S/PKI".
Versi Kedua
Versi kedua ini berasal dari para
akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang kemudian terkenal
dengan sebutan Cornel Paper. Menurut versi ini, peristiwa G30S 1965 merupakan
masalah internal AD, khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi
Diponegoro, Jawa Tengah. Peristiwa itu lebih merupakan revolusi perwira
menengah (Mayor, Letnan Kolonel, dan Kolonel) terhadap para perwira tinggi AD
(Brigjen, Mayjen, Letjen, dan Jendral) yang berasal dari Divisi Diponegoro.
Ketidakpuasan para perwira menengah terhadap para perwira tinggi AD itu
menyangkut nilai-nilai, etika, dan semangat revolusi 45 dimana kesederhanaan,
kejujuran, solidaritas, kesetiaan dan nilai-nilai hidup ideal lainnya merupakan
tolok ukur utama bagi perwira sejati di manapun dan kapan pun ia berada.
Versi Ketiga
Versi ini datang dari seorang
sejarawan Barat bernama Antonie C.A. Dake yang menyatakan bahwa tidak menutup
kemungkinan, dalang utama peristiwa G30S 1965 adalah Presiden Soekarno sendiri.
Dalam hal ini, ketika Presiden Soekarno melakukan politik konfrontasi dengan Malaysia pada
tahun 1964, secara diam-diam, AD (Angkatan Darat) termasuk yang menolaknya.
Sebagai Panglima Tertinggi ABRI, sesuai Konstitusi UUD 1945, Presiden Soekarno
merasa perlu "menjewer" para Jenderal TNI AD yang membangkang itu.
Itulah sebabnya, Soekarno "merestui" tindakan Letkol Untung untuk
"mengamankan" para Jenderal AD pada 30 September 1965. Soekarno juga
berada di daerah Halim, markas tempat pelaku utama G30S 1965 berada. Dan ketika
Brigjen Soepardjo, salah satu pelaku utama G30S 1965 melaporkan bahwa para
Jenderal AD itu sudah "dibereskan", Soekarno segera memeluk perwira
tinggi itu dengan menepuk-nepuk punggungnya. Dalam setiap kesempatan pun,
setelah peristiwa G30S berlalu, Soekarno menyatakan bahwa peristiwa itu hanya
merupakan "riak kecil dalam sebuah gelombang samudera revolusi Indonesia yang
dahsyat". Soekarno juga tidak menunjukkan simpati atas kematian para
Jenderal AD dengan tidak menghadiri prosesi pemakamannya serta tidak mau
mengutuk PKI sebagai dalang utama peristiwa itu sebagaimana dituntut oleh pihak
AD.
Versi Keempat
Versi ini dilontarkan oleh
seorang sosiolog dan sejarawan Belanda, W.F. Wertheim, yang menyatakan bahwa
dalang dari peristiwa G30S 1965 adalah Jenderal Soeharto. Hal ini dibuktikan
bahwa ketiga pelaku utama G30S yaitu Kolonel Untung, Letkol Latief, dan Syam
Kamaruzaman, adalah bekas anak buah dan teman baik Soeharto sejak jaman
revolusi Indonesia. Ketika Untung melangsungkan pernikahan pada tahun 1950-an,
Soehartolah yang bertindak sebagai walinya. Seoharto pula yang didatangi Letkol
Latief pada tanggal 30 September 1965, yang melaporkan akan adanya G30S
walaupun dalam perkembangannya kemudian dibantah Soeharto. Sementara itu, Syam
Kamaruzaman dianggap sebagai intel "dwi-fungsi" yang melayani
intelijen PKI maupun AD. Bahkan menurut Wertheim, tokoh intel ini sengaja
disusupkan oleh AD untuk memprovokasi tindakan PKI yang sudah lama menjadi
musuh AD.
Versi Kelima
Versi ini datang dari mantan
pejabat intelijen Amerika Serikat, Peter Dale Scott, yang menyatakan bahwa
peristiwa G30S 1965 didalangi oleh CIA. Menurutnya, sejak Soekarno mengemukakan
gagasan tentang perlunya sistem politik Demokrasi Terpimpin, ia meminta bantuan
Uni Sovyet untuk membebaskan Irian Barat (1962), membentuk poros
Jakarta-Peking-Pyongyang (1964), dan melakukan konfrontasi dengan Malaysia
(1964). Amerika Serikat tidak senang dengan tindakan Soekarno yang ingin
menjadi pemimpin baru bagi negara Asia ,
Afrika, dan Latin Amerika.
Penutup
Dari sejumlah versi di atas, mana
versi yang paling benar ?. Peristiwa ini begitu kompleks dan para pelaku yang
terlibat sedemikian banyak. Menonjolkan peran tokoh tertentu akan berarti
mengabaikan peran tokoh lainnya. Dalam hal ini, pendapat M.C. Ricklefs,
sejarawan dari Australia ,
mungkin patut disimak :
"Oleh karena rumitnya situasi
politik dan perasaan-perasaan benci yang mempertalikan sebagian besar para
pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang mencurigakan dari sebagian
besar bukti-bukti, maka tidak akan pernah diketahui kebenaran yang sepenuhnya.
Tampaknya mustahil hanya ada satu dalang yang mengendalikan semua peristiwa itu,
dan tafsiran-tafsiran yang berusaha menjelaskan kejadian-kejadian tersebut
secara tunggal itu harus dipertimbangkan secara hati-hati".
mengetahui lebih dari satu sumber itu sangat bijaksana..
ReplyDelete